19. Tertangkap basah

90 19 0
                                    

Jika boleh jujur, sekarang Luna sedang gugup. Sangat. Rasanya ia seperti sedang berhadapan dengan Justin Bieber, antara senang bukan main dengan degup jantung yang kembali menggila. Apalagi saat Rio terus memandangnya. "Bo-boleh tanya sesuatu?"

Luna berharap ia bisa mengutuk mulutnya yang mendadak menjadi memalukan begini saat Rio memandangnya dengan senyuman lebar. Cowok itu memandangnya geli dan bertanya lembut. "Apa?"

"Helma..." Luna tak kuasa terus ditatap sedalam itu. Atas dasar malam yang membahagiakan ini, ia menundukkan kepalanya. Tak mampu melanjutkan kalimatnya dan memilih memilin ujung baju yang dikenakannya.

"Dia salah satu orang yang ada di alam semesta, yang artinya harus dapet bagian dari bulan yang dibagi-bagi. Tapi..." Oleh Rio, dagunya diangkat. Membuat tatapan mereka bertubrukan dalam tingkat bahagia yang mungkin serupa. "Dia nggak berhak dapet bagian dari bulan yang udah jadi milik kamu."

Luna tak masalah jika degup jantungnya sekarang tidak normal. Tapi ia juga tak akan membiarkan telinganya ikut tertular dan tidak berfungsi dengan benar.

Semakin ingin lenyap saja Luna saat menyaksikan senyum Rio yang terlihat permanen, tidak pernah hilang dan luntur saat Luna justru terlihat seperti orang bodoh. Semakin memuncak lagi saat ia merasakan sesuatu yang menjalar hangat bermula dari dahinya yang dikecup amat lembut oleh cowok berikat kepala biru terang itu.

Sebuah perintah tanpa sadar membuat gadis bersurai lurus itu menubruk pria berikat kepala di sampingnya ini, yang berhasil menumbuhkan rasa bahagia terlalu dalam. Menyembunyikan wajahnya yang terasa memanas di dada bidang penuh kehangatan ini.

Luna tidak mau mengambil resiko perihal Rio yang menanyakan rona merah di pipinya. Itu terlalu memalukan.

Cowok berikat kepala biru terang itu sempat terteguh, sebelum akhirnya tergelak dan memeluknya lebih erat. Memunculkan kembali rasa hangat dan euphoria yang meluap.

"Tapi Helma..." Tak bisa dipungkiri jika rasa takut sering menguasai Luna tanpa henti.

Sebuah suara lembut mengalun dengan begitu indah di telinganya, terdengar lebih bagus dari suara sang idola yang tak lagi menjabat di hatinya. "Besok kita buktiin siapa dia dan siapa kita."

Luna tak tahu jawaban lain selain mengangguk dan melanjutkan menghirup aroma maskulin cowok berikat kepala ini.

Keduanya memilih diam selama beberapa menit, menyalurkan rasa bahagia di tengah sinar bulan dan bintang yang tak meredup sedikit pun. Seolah ikut merasakan makhluk bumi yang sedang diterpa angin besar penuh senyuman.

Entah bagaimana ceritanya, pelukan mereka sudah terlepas begitu saja. Luna sudah kembali duduk tegak dengan kepala menunduk, sedikit menyesal karena rambutnya yang cepol oleh Rio menjadikannya tak bisa menyembunyikan wajah sepenuhnya.

Suara kekehan halus terdengar. "Jangan nunduk terus gitu dong."

"Jangan lihatin terus makanya," sahut Luna pelan, hampir seperti sebuah bisikan.

Merasa sedikit aneh karena ia tidak mendapatkan respon apa pun, Luna memberanikan diri mengangkat kepalanya sedikit. Matanya menilik penuh waspada, lantas kembali menundukkan kepalanya lagi dengan cepat karena Rio masih saja memandangnya.

Cowok itu tergelak sebelum akhirnya menyodorkan tangannya di hadapan Luna, gadis bersurai lurus itu menerima uluran tangan Rio dengan malu-malu yang kembali menimbulkan tawa khas cowok berikat kepala itu.

Dengan kepala yang masih tertunduk, Luna bisa mendengar dengan jelas kalimat cowok itu. Yang rasanya membuat ia ingin lenyap saat itu juga. "Yahh... udah minta digandeng aja, nih. Tapi bentar, aku mau minjem hp sebenernya. Habis itu nanti kita gendengan, deh."

 BLUE [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang