1|Malam itu.

2.7K 508 211
                                    


Malam ini begitu sunyi. Langit malam begitu kelam sebab tidak dihiasi bintang-bintang. Sepertinya akan turun hujan dari atas sana. Namun rupanya awan kalah cepat dengan pelupuk mata Rahel yang sudah mengguyurkan hujan begitu deras sejak tadi sore. Pipinya sudah begitu basah dan hidungnya sudah sangat merah. Rahel kedinginan, tetapi tidak ada satupun yang bisa ia peluk saat ini. Ia benar-benar sendiri. Duduk di bangku taman dekat area parkir rumah sakit. Begitu menyedihkan.

Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja. Papa dan kakak laki-lakinya, Leo, masih terlihat ceria seperti biasanya. Mama masih sehat, ia tidak membuka praktek dan masih memanggang kue dengan dirinya seperti layaknya hari minggu biasanya. Namun sesuatu mengerikan terjadi. Pukul 10.00 tepat, Rahel masih ingat. Mama mendapat telepon dari nomor papa. Kebetulan tadi pagi, papa dan Leo pergi ke pasar burung untuk mencari udara segar, dan siapa tau ada burung yang kicauannya merdu yang bisa papa beli.

Tiba-tiba saja mama pingsan setelah menjawab telepon papa. Rahel yang terkejut langsung berteriak dan berlari, ia mengambil alih ponsel mama dan berteriak dengan panik. Tetapi apa yang Rahel dengarkan lebih mengejutkannya. Itu bukan suara papa. Orang itu terus mengatakan bahwa pemilik ponsel ini baru saja mengalami kecelakaan dan tewas di tempat bersama putranya.

Kejadiannya begitu cepat. Rahel tidak bisa memahaminya, terlalu buruk. Papa dan Leo langsung dimakamkan tadi siang, tanpa menunggu mama sadar, sebab dokterpun tidak bisa memastikan mama akan sadar atau tidak. Mengapa Tuhan mengambil papa dan Leo begitu cepat? Akankah Tuhan juga mengambil mama? Mengapa Rahel tidak diajak sekalian? Saat itu, Rahel kecil, yang masih duduk di bangku sekolah dasar hanya bisa berpikir demikian. Ia terus menerus menyalahkan keadaan.

Rahel menangis sekali lagi. Ia sangat bingung, apa yang akan ia lakukan setelah ini? Bagaimana jika mama benar-benar pergi? Ia akan benar-benar sendiri nanti.

Tidak, mama pasti akan baik-baik saja.

"Kamu kenapa di sini?" Rahel mendongak. Ia mendapati ada gadis kecil yang duduk di kursi roda dengan seorang anak laki-laki di belakangnya. Rahel tidak menjawab, ia masih sangat terpukul dengan keadaan. Bahkan air matanya sudah tidak tau malu dan terus menerus turun meski sedang bertemu dengan dua orang asing.

"Abang, turun." Pinta gadis kecil itu. Kemudian anak laki-laki yang ada di belakangnya membantu gadis itu turun dan membawanya duduk di samping Rahel. Tanpa bertanya dan juga tanpa perizinan, gadis itu memeluk Rahel begitu erat. Sungguh erat hingga Rahel bisa merasakan kehangatan tubuh gadis itu. "Pasti berat ya? Nangis aja gak apa-apa, Kak." Rahel cukup terharu dengan tindakan gadis itu.

"Tenang aja, Kak. Aku bakalan temenin kakak kok, abang juga, ya kan, Bang?" Anak laki-laki itu hanya berdeham. Rahel menjauhkan badannya, membuat gadis itu melepas dekapannya. Rahel menghapus air matanya, namun nihil, air mata sialan itu tetap saja jatuh.

Gadis itu memulai percakapan, bukan, gadis itu hanya mengoceh sendiri untuk mencoba menghibur Rahel. "Namaku Cintia Anugrah, Kak. Tapi panggilnya Cinta aja ya. Ini kakak aku, namanya Bagas. Aku manggilnya abang, kalo kakak manggilnya Bagas aja, soalnya kayaknya kalian seumuran. Oh iya Kak, kakak gak pernah lihat aku, ya? Yah, maaf ya Kak, aku belum sempet dateng ke rumah kakak, soalnya aku lagi sakit. Aku sama abang baru aja pindah seminggu lalu. Rumah kita sebelahan loh Kak."

Rahel sudah cukup tenang. Perlahan, air matanya mulai bisa dikontrol.

"Oh iya Kak, aku kelas 5 SD, bentar lagi mau kelas 6. Tapi home schooling," Terjadi sedikit perubahan pada raut wajah Cinta, namun dengan segera ia mengubahnya lagi.

"Soalnya lagi sakit, hehehe. Kalo abang udah SMP, kelas 1 mau naik kelas 2. Kalo kakak? Udah SMP juga?" Cinta mengajukan pertanyaan, tentu dengan tujuan menghibur Rahel. "Kelas 6" Jawab Rahel singkat.

Cinta tersenyum. "Oh, kirain seumuran sama abang. Bentar lagi kakak mau naik ke SMP dong, waah. Nanti sekolah di SMP abang aja, Kak. Sekolahannya nyaman banget, ada yang jualan cilor di depan gerbang, enak banget. Nanti kalo udah sehat, aku juga pengen sekolah di situ, hehehe. Ya kan, Bang?"

Lagi-lagi anak laki-laki itu hanya berdeham.

Cinta kembali tersenyum. Ia mengayunkan kakinya, memikirkan topik yang bisa ia bahas selanjutnya. Sementara Rahel, ia sempat kagum dengan gadis kecil ini. Pasti penyakit yang dideritanya cukup parah hingga tidak bisa belajar di sekolah umum. Tapi gadis ini masih bisa tersenyum dan mengoceh segitu banyak hanya untuk menghiburnya.

"Mama kakak pasti sembuh, kok. Pasti Tuhan kasih yang terbaik. Kakak jangan sedih lagi, ya." Cinta menggenggam tangan Rahel. Rahel merasakan tangan Cinta yang begitu gemetar. Pasti Cinta sendiri juga sedang cemas dan tidak yakin dengan kesembuhan. Tapi gadis ini begitu kuat.

"Terima kasih ya, Cinta. Kamu juga semangat." Rahel tersenyum. Senyuman yang rasanya sudah tidak ada artinya lagi. Namun semua bebannya sedikit terangkat semenjak ia melihat Cintia Anugrah.

Cintia Anugrah, gadis kecil yang dikirim Tuhan dan menjadi anugerah terbesar dalam hidupnya. Gadis yang sejak saat itu selalu mengisi hari-hari Rahel, yang selalu dengan tulus tersenyum untuknya.


💚💚💚

always youWhere stories live. Discover now