#15 - Terima Kasih (3)

1.4K 274 12
                                    

Keesokan harinya Angreni dilanda ketakutan luar biasa saat ia tak menemukan Dharmaja di kamar itu. Apakah lelaki itu telah pergi meninggalkannya? Baru juga ia merasakan kebahagiaan tapi kenapa kebahagiaan itu pergi secepat kedipan mata? Apakah ini balasan bagi semua perilaku keji yang telah ia lakukan dulu? Sebagai salah satu kawanan perampok gunung, melukai atau bahkan membunuh merupakan makanannya sehari-hari.

Gadis kecil itu terdiam di atas dipan. Tatapan matanya kosong seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, tinggal tunggu sampai penjagal datang untuk memenggal kepalanya. Lelehan air mata jatuh tanpa diminta. Seketika muncul satu persatu imaji wajah para korban kejahatannya yang berteriak meminta pengampunan darinya. Namun, gambaran itu tiba-tiba lenyap tergantikan dengan genangan darah di mana-mana.

Tangisan Angreni mendadak tak terkendali. Gadis kecil itu meraung-raung bagai kesetanan ketika sekumpulan mayat hidup muncul dan merayap mendekatinya. Tangan-tangan yang telah membusuk terjulur, hendak meraih kakinya dari samping dipan. Dengan terburu-buru ia menekuk kaki lalu mendekap erat-erat. Tubuhnya menggigil hebat. 

"Jangan ... jangan!" Angreni menjerit histeris saat salah satu tangan busuk berhasil menangkap kakinya.

"Hei, hei, tenang. Ini aku. Kau kenapa?"

Angreni membuka paksa matanya ketika suara Dharmaja tertangkap indra pendengarannya.

"Apa kau bermimpi buruk, Angreni?" tanya Dharmaja dengan nada kekhawatiran yang sangat kentara. Tiba-tiba, Angreni menubruk lalu memeluk tubuh lelaki itu erat-erat. Tangisannya kembali tumpah ruah.

"Tenanglah, tenanglah, aku ada di sini," ucap Dharmaja sambil mengelus-elus pelan kepala Angreni. Mereka lama dalam posisi itu. Ketika Dharmaja yakin tangisan Angreni berangsur reda, ia pun melepaskan pelukannya. "Sshh ... sudah, sudah, jangan menangis lagi," pintanya seraya mengusap lembut jejak air mata di wajah Angreni.

Masih dengan isakan yang konstan keluar dari mulutnya, Angreni pasrah menyandarkan tubuhnya yang terasa sangat lelah di dada Dharmaja. Namun, ketika matanya matanya menangkap bercak merah yang mengotori perut serta pinggang lelaki itu, Angreni buru-buru menjauhkan dirinya. "Da-darah? Ka-kau terluka?" katanya dengan tergugu-gugu.

Dharmaja mengikuti arah pandang mata Angreni, lalu tersenyum geli. "Tidak apa-apa. Ini hanya darah babi hutan."

"Ba-babi hutan?" Angreni menatap mata Dharmaja dalam-dalam. Ketakutan masih terpancar jelas dari bola matanya yang jernih itu.

Dharmaja mengulum senyum. "Aku keluar untuk mencari babi dan kambing hutan yang nantinya akan kujual. Kau pikir bagaimana musafir sepertiku bisa bertahan hidup sementara aku tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan? Aku melakukan apa saja, termasuk berburu, Angreni."

Angreni terperangah. Malu mengakui kalau dirinya sudah khawatir terlalu berlebihan, ia pun menundukkan wajah. Ada jeda sedikit sebelum Dharmaja terkekeh lucu. "Apa yang kamu mimpikan tadi sampai-sampai kau meronta-ronta seperti kambing yang akan disembelih? Kalau kau ingin cerita, aku siap mendengarnya," ucap lelaki itu sambil menarik lagi tubuh kecil Angreni ke dalam dekapannya.

Angreni tak membalas. Yang ia lakukan hanyalah diam sembari mendengarkan bunyi jantung Dharmaja yang berdetak teratur.

"Ah, ya sudah jika kau tak mau cerita." Dharmaja tak keberatan ketika Angreni menggunakan dirinya sebagai sandaran. Sambil mengelus-elus punggung Angreni sambil menggumamkan sebuah lagu; cara yang sama seperti yang selalu dilakukan oleh ibunya dulu ketika ia tengah dilanda kesedihan.

Ketika lagu hampir mendekati akhir, Dharmaja memindahkan fokus atensinya ke jendela yang tertutup rapat. Seberkas cahaya menyusup dari celah-celahnya, tanda matahari mulai meninggi. Awalnya, ia berniat untuk memberitahu Angreni kalau sudah saatnya mereka pergi mencari makanan, tetapi semua katanya tertahan di tenggorokan ketika Angreni mulai berbicara.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now