#11 - Sastramiruda

2.3K 318 7
                                    

 Malam di pondok ini sungguh berbeda dengan malam-malam yang ia habiskan di dalam kedatwan* dulu. Ia masih ingat betul bagaimana wangi cendana yang menguar di tiap sudut istana, bagaimana terangnya nyala api lampu damar yang bergoyang ketika angin berembus pelan, dan juga bagaimana syahdunya nyanyian para pasindhian* serta lantunan gamelan yang selalu berhasil membuat ketakutannya akan gelap menghilang.

Bocah lelaki itu menghela napas lelah, teringat tragedi pemberontakan beberapa tahun silam yang merenggut nyawa ayahnya, Sri Sarwesywara*. Kebimbangan menguasai. Di satu sisi, api kemarahan dan dendam tumubuh subur di hatinya, tapi di sisi lain ia begitu mengerti kenapa pamannya, Sri Aryesywara* melakukan pemberontakan itu. Ia hanya ingin menuntut takhta yang telah dirampas oleh ayahnya.

Ia tak tahu pasti bagaimana tragedi ini bermula. Doktrin yang dijejalkan kepadanya selama ini adalah kejahatan kakeknya, Sri Warmeswara, yang tega menyingkirkan Prabarini, neneknya, dari takhta paramesywari Daha. Berkat tersingkirnya Prabarini, jabatan Mahamantri I Hino* yang seharusnya jatuh ke tangan ayahnya diberikan kepada Sri Arwesywara, sang paman yang terlahir dari lain ibu.

"Malam telah begitu larut. Apa yang membuatmu masih terjaga, Rahadyan?"

Bocah lelaki itu menoleh ketika suara ibunya mampir di telinga. "Aku mengalami mimpi buruk dan aku tak bisa tertidur lagi karenanya," jawabnya seraya menyilakan wanita yang ia sayangi dengan segenap jiwa itu duduk di sebelahnya.

Sang ibu tersenyum lembut seraya menyampirkan sebuah kain tebal di bahu sempitnya. "Kali ini apa yang mampir ke dalam mimpimu itu?"

"Ayah yang kali ini hadir di mimpiku."

"Dengar, Rahadyan—"

"Sastramiruda," ralatnya. "Kita bukan di kadhaton, Ibu. Aku tak menyukai panggilan itu. Ketika aku mendengar panggilan itu, pundakku terasa memikul bebatuan yang sangat berat."

"Baiklah, anakku Miruda, apakah kau sedang merindukan ayahmu?"

Sastramiruda menggeleng pelan. "Aku hanya berpikir apakah yang kita lakukan ini sudah benar?"

"Ayahmu, Sri Sarwesywara, telah menitipkan dua kesatria tangguh padaku. Maka dari itu aku selalu percaya kepadanya."

"Tidak bisakah kita menyerah saja? Banyak nyawa yang berjatuhan hanya demi melindungi kita. Lagi pula, aku tidak ingin ibu terluka lebih jauh," sanggahnya sambil melirik ke arah kaki ibunya yang terjulur melalui ujung kain jarik yang dipakainya. Di sana ia mendapati luka bakar pada kaki ibunya yang menyerupai bercak noda hitam pada permukaan bulan yang cantik. Luka bakar itu didapatkan ketika ia hendak menyelematkannya dari kebakaran besar di istana.

Mengerti akan kegelisahan sang anak, ibunya pun tesenyum sambil menyembunyikan kakinya di balik kain. "Mereka yang telah gugur melakukan semua itu atas kecintaannya pada ayahmu, begitu pun denganku. Aku melakukan ini atas dasar kecintaanku pada ayahmu, Nak."

Sastramiruda mendengus kecil. "Aku tidak ingin kau menjadi seperti nenek, Ibu."

Sang ibu terkejut. "Apa yang salah dengan itu?"

"Hanya karena kecintaannya yang mendalam pada Pu Sedah* dia lebih memilih untuk hidup dalam pengsingan? Ia sesungguhnya telah buta dan aku tak ingin kau menjadi seperti itu, Ibu."

Senyum teduh sang ibu kembali terkembang. Diraihnya wajah sang anak, lalu dibelainya lembut. "Kau tahu, cinta adalah hal yang begitu murni. Kau pasti akan melakukan apapun demi melindungi cintamu itu, Nak. Ibu yakin, suatu saat kau akan mengerti."

Sastramiruda tak membalas. Dalam dadanya kini berkecamuk perasaan kalut, sedih, marah, dan benci yang ingin sekali ia muntahkan. Namun, ia tentu tak ingin menunjukan sisi lemahnya di hadapan sang ibu, itu sebabnya yang bisa ia lakukan ialah memejamkan mata sambil menikmati belaian wanita itu di wajahnya.

"Aku yakin suatu saat nanti, kau pasti akan menemukan seseorang yang kau anggap jauh lebih berarti ketimbang hidupmu sendiri, Nak," ucap sang ibu. Saat tangannya tak sengaja menyentuh tanda lahir kecil di pipi kiri sang anak, senyum kecil terbit di wajahnya. Ia selalu mengumpamakan tanda lahir itu sebagai bintang di langit timur yang akan selalu menemani sang fajar. Begitulah seharusnya Sastramiruda yang akan selalu menemani kakaknya, Rawisrengga.

"Ibu," panggil Sastramiruda yang memecah keheningan.

"Ya, Anaku. Ada apa?"

"Sudah tiga purnama Raka* Rawisrengga tak memberi kabar. Apakah dia baik-baik saja?"

"Ibu yakin dia baik-baik saja. Kau tahu, saat ini ia tengah mempersiapkan diri untuk tugas mulia yang akan diembannya. Percayalah kepadanya."

Tangan Sastramiruda terkepal kuat. Kakaknya telah mempertaruhkan seluruh hidupnya dengan berkelana ke seluruh pelosok negeri untuk mengumpulkan kekuatan. Ia tentu tak boleh berdiam diri saja di sini. "Aku ingin menjadi kuat seperti Rakamas, Ibu."

"Ibu percaya kau bisa, Miruda. Jadilah kuat dan wujudkan pesan terakhir mendiang ayahmu. Bersama kakakmu, Ibu yakin kau akan bisa mengembalikan garis keturunan Prabarini ke takhta Daha."


=========

Catatan kaki:

1. Kedatwan = Keraton/istana

2. Pasindhihan = Pelantun lagu (pesinden) yang merupakan abdi dalem keraton

3. Sri Sarwesywara = Raja Panjalu/Kediri dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa

4. Sri Aryesywara = Raja Panjalu/Kediri dengan gelar abhiseka Sri Maharaja Rake Hino Sri Aryeswara Madhusudanawatara Arijayamuka Sakalabhuwana Tustikarana Nirwarya Parakrama Utunggadewa

5. Sri Warmeswara / Jayabhaya = Raja Panjalu/Kediri dengan gelar abhiseka Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa

6. Mahamentri I Hino = Putra mahkota

7. Pu Sedah = Salah satu pujangga penggubah Kakawin Bharatayudha

8. Raka = Kakak

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang