#28 - Percayai Apa yang Tak Terlihat (1)

946 177 5
                                    

Angin menghempaskan anak-anak rambut Miruda yang lolos dari ikatan ketika kuda yang ditungganginya melaju dengan kecepatan tinggi. Untuk sementara, ia tak ingin kembali ke rumah. Ia merasa sangat dungu karena bertindak impulsif mengikuti Angreni ke air terjun meski Rongga telah mengatakan tempat itu berbahaya. Ditambah, ia sama sekali tak menduga jika kakaknya ternyata menyusul hingga membuatnya bersembunyi seperti pencuri.

Ia sadar betul kebenciannya terhadap Angreni benar-benar tak berdasar. Awalnya, ia hanya curiga. Angreni itu orang asing. Tak jelas asal-usulnya. Terlebih ia bisa jadi buronan Pu Watabwang. Meski Nilaprabangsa telah menjelaskan bahwa Angreni hanyalah budak yang kabur dan telah menyebabkan kerugian besar pada bisnis perdagangan manusia milik Pu Watabwang, ia tetap tak percaya. Kemudian, kecurigaan itu perlahan berubah menjadi kecemburuan karena Angreni dengan mudah mendapat kepercayaan dari orang-orang di sekelilingnya-terutama Rawisrengga, orang kedua yang paling ia hormati setelah sang ayah.

Miruda sampai di salah satu puncak gunung sebelah timur saat mentari berada di atas ubun-ubun. Ia sengaja mengambil jalan ke atas karena selain ingin menghindari Angreni, ia juga ingin mempelajari seluk-beluk daerah ini. Ia mengenal tempat ini hanya dari kisah heroik yang sering dituturkan acarya* dan Nawarsa; berbeda dengan Rawisrengga dan Nilaprabangsa yang pernah mengunjungi tempat ini jauh sebelum ayahnya digulingkan. Terkadang, rasa iri menyelimuti hatinya saat memikirkan bagaimana beruntungnya kedua kakaknya itu lahir lebih dulu hingga bisa mendapatkan pengalaman lebih awal.

Dari atas kuda, Miruda memandang ke lereng gunung di mana petak-petak sawah bertingkat tersusun seperti anak tangga. Turun ke bawah, ia bisa melihat atap-atap rumah yang menyebar sampai hampir mendekati Pinggir Raksa-sebuah tembok tinggi batas daerah Panjalu-Jenggala yang dulu dibuat oleh leluhurnya, Airlangga. Tembok itu berdiri kokoh seperti ular raksasa. Bagian kepala tembok itu memanjang sampai sungai brantas di bagian utara, sedangkan bagian ekor menjulur hingga pantai selatan. Ia bersumpah, suatu saat nanti tembok itu akan ia hancurkan dan menyatukan kembali Panjalu-Jenggala dengan segala kuasa yang ia miliki.

Miruda kemudian menarik tali kekang kudanya lalu bergerak menuruni gunung. Menurut perhitungannya, ia bisa mencapai perkampungan itu dan kembali ke rumah sebelum petang. Selama perjalanan itu, ia akan mengumpulkan informasi tentang daerah ini lebih banyak.

.

.

.

Rawisrengga tersenyum simpul kala mengingat kelakuan Miruda yang mengendap-endap pergi dari air terjun. Gelas tembikar yang berisi rebusan rempah terhenti tepat di depan bibirnya dan ia terlihat enggan meminumnya, tapi ia juga seolah-olah tak ingin meletakkan gelas itu kembali ke atas nampan.

"Rahadyan, apa ada yang ingin kau tanyakan lagi?"

Pertanyaan dari Nawarsa menariknya dari lamunan dan lantas mengisyaratkan mata-mata yang ditugaskannya untuk kembali mencari informasi. Mata-mata itu kemudian bangkit dari posisi sembah lalu dengan cepat menghilang menerobos hutan.

Setelah sang utusan menghilang dari jarak pandangnya, ia beralih pada Nawarsa. "Paman, aku ingin meminta bantuanmu."

"Apakah itu, Rahadyan?"

Rawisrengga meletakkan kembali gelas tersebut ke atas nampan bambu setelah meneguknya setengah. Ia lalu menatap lurus kepada Nawarsa yang duduk bersila di hadapannya. "Jika kau rasa keputusanku terlalu melebihi batas, bisakah kau menghentikanku saat itu juga?"

Nawarsa menjawab dengan tenang. "Semua perintahmu adalah kewajibanku, Rahadyan."

Senyuman kembali terbit di wajah Rawisrengga. "Lalu, menurut Paman, bagaimana dengan Angreni?"

Nawarsa memandang Rawisrengga dengan ekspresi tak terbaca. "Sebelum aku menjawabnya, apakah kau yakin ingin meneruskan rencana ini?" Ini bukan pertanyaan, tapi Nawarsa ingin menegaskan apakah Rawisrengga telah berpikir masak-masak dan siap dengan segala konsekuensinya.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now