#37 - Mimpi Panjang (6)

461 79 1
                                    

Kau menyukai kakakku.

Berhenti menyukainya.

Angreni mendesah. Kata-kata Miruda menghantuinya bagai mimpi buruk. Ia benar-benar tak mengerti, bagaimana Miruda bisa tahu? Di atas dipan, ia meringkuk laiknya bayi dengan selimut menutupi seluruh badan. Jika Miruda mengetahuinya, kemungkinan terburuk adalah Rawisrengga juga telah menyadari perasaanya. Ia meringis. Perutnya mendadak keram dan kaku.

Fokusnya kemudian teralih pada jendela yang tak tertutup rapat. Malam semakin larut. Angin yang menyusup, menyibak gordern dan membuatnya kedinginan. Ia pun turun dari dipan dengan selimut yang membungkus bahu. Kala ia berniat untuk merapatkan dua daun jendela, rupa bulan yang nyaris sempurna menghentikannya. Dalam beberapa hari ke depan purnama akan menghiasi langit malam. Ia jadi teringat, memandangi purnama sambil bersenda-gurau adalah kegemaran Dharmaja. Walaupun waktu yang mereka lalui cukup singkat, dia boleh menyombongkan diri karena dapat mengingat setiap detail yang ada pada diri lelaki itu.

Angreni menghela napas gusar. Ada di mana Dharmaja sekarang? Walau kemarahannya masih belum padam, ia tetap mengkhawatirkan lelaki itu. Angreni mencengkeram pinggiran jendela. Dulu ia mengira Dharmaja adalah lelaki paling bertanggung jawab yang pernah ia temui, akan tetapi ... malam ini Dharmaja malah bertindak sebaliknya.

Ah, tidak. Tidak. Ia masih berharap ini semua hanyalah kesalahpahaman belaka.

Ya, hanya kesalahpahaman belaka.

Semoga.

Karena tak ingin terlambat bangun, Angreni lekas menutup jendela, lalu kembali naik ke dipan untuk beristirahat meski rasanya agak sulit. Kepalanya masih terlalu ribut dengan gambaran kejadian-kejadian yang terjadi beberapa hari ke belakang. Pun begitu dengan keram di perutnya yang kembali datang. Ia berguling ke kanan dan mencoba untuk memejamkan mata. Sayangnya, sosok Rawisrengga lah yang kini mengambil alih benaknya.

Angreni lantas menelentangkan tubuh. Bagaimana kabar Rawisrengga sekarang? Apakah dia baik-baik saja?

Beralih ke sisi Rawisrengga, Angreni bisa bernapas lega karena keadaan pemuda itu sudah jauh lebih baik. Sejak sadar beberapa saat lalu ia memutuskan untuk bermeditasi. Aroma dupa menguar ke seluruh penjuru kamar. Jendela dibiarkan terbuka lebar. Kerik jangkrik di luar sama sekali tak menganggu, malah menambahkan kekhidmatan meditasi yang Rawisrengga lakukan.

Suwing yang juga berada di sana untuk membereskan kamar berusaha bekerja tanpa suara. Tak lama berselang, pemuda itu mengetuk meja pelan sebagai tanda bahwa pekerjaannya telah rampung. Tanpa perlu menunggu balasan, ia lantas berlutut dan mengangkat sembah di hadapan Rawisrengga sebelum beranjak.

"Suwing," panggil Rawisrengga yang memutuskan untuk menyelesaikan meditasinya lebih awal.

Suwing lekas berbalik, lalu berlutut sambil kembali mengangkat sembah. Dari sudut matanya, ia melihat Rawisrengga tertatih-tatih menuju jendela. Awalnya, ia hendak membantu, tapi Rawisrengga menolak.

"Dua hari lagi, bulan purnama akan datang, bukan begitu, Suwing?" cetus Rawisrengga tanpa berbalik. Dua tangan saling menjalin di belakang tubuh. Bias cahaya lampu damar membentuk bayang-bayang otot punggungnya yang bidang. Suwing menepuk lantai dengan kedua tangan lalu bersujud, sebagai pertanda kalau ia mengiyakan perkatan Rawisrengga.

"Panggilkan Miruda untukku."

Suwing sedikit terkejut. Nada suara Rawisrengga berubah. Rawisrengga yang dia kenal adalah pemuda paling bersahaja. Kalimat yang keluar dari mulutnya selalu terdengar santun dan lembut, tapi sekarang Rawisrengga seolah tengah menunjukkan kuasa yang ia miliki. Tanpa berani mengangkat kepala, Suwing mengangguk.

Rawisrengga kemudian mengibaskan tangan, memerintahkan Suwing untuk segera keluar. Suwing yang mengerti pun mengangkat sembah di hadapannya sebelum undur diri. Begitu pintu ditutup, Rawisrengga segera menyandarkan seluruh bobot tubuhnya di pinggir jendela. Ia mendesis. Sobekan di bibirnya terasa sangat pedih, pun begitu dengan nyeri menusuk di rusuk dan perut.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now