#22 - Hujan Badai (3)

1K 217 13
                                    

Sudah tiga hari setelah kejadian itu tapi gadis itu belum bangun juga dan Miruda masih setia menunggunya membuka mata demi mendapat penjelasan. Sebelumnya, Unengan telah menceritakan bagaimana ia bisa mengenal gadis itu. Namun, rasanya masih ada yang mengganjal. Jika tujuannya hanya ingin balas budi, dirinya terlalu berani dengan menyerahkan nyawanya sendiri kepada para pedagang budak. Terlebih lagi para pedagang budak itu seperti telah mengenalinya.

Miruda memandangi wajah gadis itu sekali lagi. Ia yakin gadis itu memiliki banyak rahasia. Bukan tak mungkin sebenarnya dia adalah mata-mata Prabhu ring Daha, Sri Aryesywara, yang sengaja menyamar. Atau, bisa jadi dia adalah suruhan Jenggala; mengingat Jenggala masih terus melancarkan berbagai macam taktik demi mendapat kedaulatan, bahkan setelah kakeknya, Jayabaya, mangkat serta pemberontakan yang dilakukan ayahnya meletus lebih dari sepuluh tahun lalu.

Bocah lelaki itu kemudian bangkit dan berjalan keluar. Ia berniat melihat keadaan adiknya. Beberapa saat kemudian ia kembali dan menemukan Angreni telah sadar.

"Ternyata kau sudah bangun." Miruda berhenti tepat di sebelah dipan yang ditempati Angreni. Ia tak bicara apa-apa lagi setelahnya. Namun, dari tatapannya saja semua orang tahu jika Miruda tengah menghakiminya.

Seluruh tubuh Angreni dianda tremor kecil. Ia menundukkan wajahnya dalam-dalam hingga dagunya nyaris menyentuh dada.

"Katakan, siapa dirimu? Apakah kau mata-mata suruhan Prabhu ring Daha ataukah kau mata-mata Janggala? Jangan bilang kau tersesat di hutan ini karena sudah pasti aku tak akan percaya. Tak ada satu pun penduduk desa yang berani masuk ke hutan karena adanya rumor yang mengatakan di hutan ini berdiri kerajaan lelembut, kecuali kau adalah penjahat."

"Apa dia sudah bangun, Rahadyan?"

Sebuah suara terdengar dari arah pintu, disusul dengan kedatangan seorang wanita dewasa berwajah ayu. Di belakangnya, mengekor dua gadis berjalan pelan sambil membungkuk.

"Rahadyan, boleh aku bicara dengannya?" tanya wanita itu lagi.

"Silakan, Ibu." Miruda memberikan ruang untuk ibunya. Angreni refleks menjauh hingga punggungnya menabrak dinding anyaman bambu ketika wanita itu duduk di sebelahnya.

"Apa kau takut padaku, Anaku?" tanya si wanita.

Angreni menggeleng pelan sambil menunduk dalam. Rambutnya yang panjang terjatuh menutupi setengah wajah.

Si wanita menyentuh pundak kirinya. "Terima kasih sudah menyelamatkan putriku. Aku tidak tahu, mungkin jika tidak ada dirimu, aku sudah pasti tak akan bisa lagi bertemu dengan putriku. Siapa namamu, Anaku? Apakah kau berasal dari desa dekat hutan ini?"

"Angreni!"

Pintu tiba-tiba terbanting terbuka. Angreni sempat tak mempercayai penglihatannya. Dharmaja ada di sini! Dengan segera lelaki itu menghambur ke arahnya dan memeluknya erat-erat.

Melihat hal yang baru saja terjadi, Miruda meradang. Tanpa basa-basi ia maju lalu melepaskan pelukan itu. Satu bogem mentah menghunjam telak wajah Dharmaja. Tak puas dengan satu pukulan, Miruda mengambil sebuah jambangan bunga yang terbuat dari gerabah lalu menghantamkannya ke kepala Dharmaja hingga pecah berkeping-keping.

"Rahadyan, apa yang kau lakukan?" Ibunya berteriak histeris. Sebelum perkelahian antar saudara itu terjadi, wanita itu buru-buru memeluk Miruda dan menenangkannya. Di sisi lain, Rawisrengga yang baru datang bergegas menolong Dharmaja. Sedangkan Angreni sudah tersengguk-sengguk melihat darah yang mengalir deras dari pelipis lelaki itu.

"Masih berani kau menampakkan wajahmu di hadapan kami, dasar bedebah!" Miruda meraung dan meronta-ronta dalam dekapan ibunya.

"Rahadyan, tenangkan dirimu dulu, Nak."

"Tidak, Ibu. Aku tak akan bisa tenang sebelum aku berhasil menghancurkan kepalanya!"

"Miruda!" Rawisrengga menyentak. Wajah yang selalu bereskpresi lembut seketika berubah.

Tak mau kalah, Miruda balas membentak. "Kenapa kau marah kepadaku, Raka? Apa kaulupa apa yang telah orang itu lakukan kepada kita? Dia meninggalkan kita!"

"Tapi dia juga yang telah menyelamatkan kita dulu. Aku yakin kau tidak lupa akan hal itu, Miruda?"

"Itu semua semata-mata karena perintah ayah, Raka. Perintah ayah! Aku yakin jika tak ada perintah ayah, dia akan melarikan diri sendirian!"

"Rakamas Nilaprabangsa, kau kah itu?" Unengan yang baru masuk ke kamar terkejut setengah mati saat melihat darah membasahi kepala Dharmaja. Tergopoh-gopoh ia menghambur ke arahnya. "Raka, siapa yang melakukan ini?"

"Unengan, menjauh darinya!" perintah Miruda. "Ibu, tolong lepaskan aku."

Pelukan dari ibunya mengendur. Miruda menggunakan kesempatan ini untuk keluar kamar. Tanpa diduga, Angreni yang melihat itu pun meloncat turun dari dipan lalu mengejarnya tanpa sempat dicegah Dharmaja.

Satu pukulan Angeni mendarat telak di pipi kiri Miruda. Bocah lelaki itu terhuyung ke belakang sambil mendelik. Ia tak pernah diperlakukan seperti ini. Semua orang menjunjungnya, bahkan ketika keluarganya kehilangan kekuasaan, ia masih diperlakukan bak titisan dewa.

"Apa yang kaulakukan, Bedebah?!"

"Itu balasan untukmu karena kau berani melukainya Rakamas Dharmaja!"

Pukulan balasan dari Miruda hampir saja mendarat di wajah Angreni jika Dharmaja tak menghentikannya. Kilat marah terpancar jelas dari sorot mata lelaki itu. Cengkeramannya pada tangan Miruda pun menguat hingga urat-urat nadinya tercetak jelas. "Jangan pernah berani menyentuh Angreni seujung rambut pun atau aku akan sangat marah kepadamu, Miruda. Tak peduli jika kita memiliki ikatan darah sekalipun."

.

.

.

Ada yang merasa salah satu adegan di sini sama dengan adegan di bab-bab awal? Hehe ada yang bisa nebak ada di bab berapa?

Btw, bab depan kita kembali ke masa depan. Terima kasih sudah mau membaca sampai sini. Tetap dukung saya, Teman-teman :")

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now