#26 - Ingatan Tentangnya (2)

1.2K 229 10
                                    

Yamaloka tak semengerikan neraka, meski kedua tempat itu sama-sama berada di bawah kekuasaan Hyang Yama. Jika neraka adalah tempat penyiksaan bagi pendosa, maka Yamaloka hanyalah tempat persinggahan bagi jiwa sebelum mereka diadili, juga tempat tinggal sementara bagi jiwa yang hendak bereinkarnasi. Selain itu, di tempat ini para Pesuruh Hyang Yama berdiam sebelum menjalankan tugas mereka.

Tak ada yang bisa mendeskripsikan dengan pasti bagaimana bentuk Yamaloka. Semua jiwa yang singgah akan menggambarkan dunia ini dengan persepsi berbeda. Bisa jadi salah satu jiwa melihat Yamaloka sebagai tempat yang begitu cantik dengan pepohonan dan bunga-bunga yang tumbuh subur, jiwa yang lain mungkin akan menganggap tempat ini adalah gurun gersang yang tak berbatas. Di matanya sendiri Yamaloka terlihat seperti ruang hampa, tak bersekat, dan gelap. Kala pertama kali singgah di sini pun ia tak bisa melihat apa-apa, bahkan sosoknya sendiri. Yang bisa ia rasakan saat itu hanyalah ketakutan tak berujung. Sejauh apapun ia berlari dan kemanapun ia pergi, ia akan kembali ke tepat semula. Jarak, waktu, arah, cahaya; ia tak bisa mendapati semua itu di dunia ini. Ia merasa seperti eksistensi yang tak pernah ada.

Bayangkan setelah sekian waktu disiksa di neraka, kemudian di tempatkan di dunia mengerikan selama ratusan tahun, siapapun tak akan sanggup. Namun, ia sudah terbiasa. Semua hal yang telah dialaminya setelah kematian ditambah pengalamannya melihat langsung proses kematian yang menyakitkan membuat hatinya mati rasa.

Akan tetapi, semua berubah ketika ia bertemu dengan gadis itu. Saat melihat wajahnya, perasaan rindu, kehilangan dan tak berdaya menghantam layaknya godam raksasa. Ketika itu, ia menangis tersedu-sedu. Hatinya seperti diiris sembilu. Rasanya beribu-ribu kali lebih pedih dibandingkan hukuman yang ia jalani di neraka.

Ia meremas jimat di tangannya. Bagaimana ia menyelesaikan tugas terakhirnya ini jika bertemu dengan gadis itu saja ia tak berani?

Muncul secuil rasa penasaran yang mengganggu. Ia ingin tahu kebenarannya, kebenaran tentang gadis itu dan tentang dirinya. Namun, di saat yang sama ia takut jika ingatannya kembali. Bukan sekali Ia mendengar kabar yang mengatakan bahwa kembalinya memori seorang pendosa adalah hukuman paling berat. Ya, ia memang pengecut.

Seketika angin berembus, diikuti dengan desau angin yang terdengar amat dekat, seakan-akan suara itu berasal dari kepalanya sendiri. Seketika, tempat yang selama ini gelap berubah terang-benderang. Cahaya yang datang begitu tiba-tiba mengharuskannya memejamkan mata.

"Apa kau masih belum menyelesaikan tugas terakhirmu?"

Ia terpaku sejenak. Kesalahan apa yang telah ia lakukan sehingga Hyang Yama yang mulia mendatanginya? Apakah ini karena ia tak bisa menunaikan tugas terakhirnya?

Ketika membuka mata, dirinya cukup terkejut saat tahu pemandangan di sekitarnya berubah. Tanah lapang yang ditumbuhi rerumputan terhampar luas di depan mata. Di atas kepalanya membentang langit malam dengan taburan bintang. Beberapa meter di hadapannya sebuah pohon beringin dengan akar-akarnya yang tumbuh ke atas, serta cabang-cabangnya tumbuh ke bawah berdiri dengan gagah.

Hyang Yama berdiri di sebelahnya. "Maaf telah membawamu ke tempat ini. Jujur saja, aku tidak suka denga tempatmu yang gelap dan membosankan itu. Di sini, kau bisa menikmati semilir angin dan juga memandangi langit malam."

Tepukan halus di bahunya dari Hyang Yama membuatnya serta-merta mengangkat kepala. Di langit sana gugusan bintang tersebar, membentuk titik-titik cahaya kecil. Meski indah, tetapi rasanya ada yang kurang.

"Sayang, malam ini Sang Hyang Candra tak menempati singgasananya."

Candra. Bulan. Entah mengapa mendengar kata itu membuatnya teringat akan sesuatu, tapi ia tak tahu pasti hal apakah itu.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now