#24 - Selembar Surat

1.1K 228 2
                                    

"Nabila, kamu dipanggil sama Bu Lina ke ruang guru tuh!"

Nabila merengut ketika salah satu teman sekelasnya memanggil dari ambang pintu kelas. Tahu goreng yang baru mampir di mulutnya ia taruh kembali ke kotak makan. "Ada apa memangnya, sih? Kamu ganggu aja." tanyanya, sedikit kesal.

Teman perempuannya itu mengangkat bahu. "Nggak tahu. Kamu cek aja sendiri sana."

Nabila mendengus tetapi tetap menjalankan perintah temannya itu. Setibanya di ruangan guru, ia tak melihat siapa-siapa kecuali Bu Lina yang tengah fokus menatap layar laptop. Di sekolahnya, sudah menjadi rahasia umum kalau Bu Lina dikenal sebagai pekerja keras. Bahkan ketika guru lain tengah menikmati waktu istirahat, ia masih betah bekerja.

"Permisi. Ibu manggil saya?"

Bu Lina tersentak lalu mengangkat wajah. "Ya, ya, masuk aja, Nabila." Senyum di wajahnya terus terusngging saat Nabila mendekati mejanya. "Nabila, ibu mau berterima kasih banyak sama kamu," ucapnya seraya meraih lengan kecil bocah itu.

"Berterima kasih?" Nabila memandang bingung. "Untuk apa, Bu?"

"Karena bantuan kamu ibu bisa mengajak Vivian untuk gabung lagi di sanggar ibu."

"Oh." Nabil mengangguk-angguk. Sejujurnya, ada satu hal yang ingin sekali ia tanyakan, tapi ia merasa sangat tidak sopan jika ia utarakan pada gurunya tersebut.

Bu Lina yang menyadari perubahan raut wajah Nabila pun bertanya, "Kenapa, Nabila?"

"Anu ... itu, Bu. Maaf, mungkin kalau aku ndak sopan, tapi ... memangnya Neng Vivi sejago itu narinya? Maksudku ..." Nabila tergagap. ia memang belum pernah melihat Vivi menari. Dia hanya pernah mendengar cerita serta puji-pujian yang selalu dilontarkan bibi dan Galih. Jadi, dia bingung ketika guru keseniannya—yang memiliki sanggar yang telah dikenal seantero negeri itu—bersikeras untuk merekrut Vivi lagi. Padahal, jelas-jelas selama ini Vivi selalu menghindar untuk bertemu dengannya.

Bu Lina tertawa kecil. "Kamu mau lihat sendiri?" Ia menarik salah satu kursi di sampingnya lalu memerintahkan bocah itu duduk.

Tadinya Nabila ingin menolak karena sungkan, tapi tidak jadi. Ia betul-betul tak enak jika harus menolak antusiasme gurunya itu.

Video yang ingin diputar Bu Lina memiliki panjang tiga menit. Jujur, dari awal video itu diputar ia tak memiliki ekspektasi apa-apa. Namun, ia harus menarik ucapannya sendiri. Gerakan Vivi kecil begitu halus. Sosoknya seakan-akan berubah menjadi bidadari dengan selendang warna-warni. Gerakan tubuhnya begitu halus. Nabila bahkan sampai lupa caranya bernapas ketika sosok Vivi kecil berputar sambil mengibaskan selendang.

"Jadi, bagaimana menurut kamu, Nabila?"

Nabil menggeleng seperti orang linglung. Nyawanya seolah-olah keluar dari tubuhnya dan masih belum kembali dari awang-awang. Ia masih tak menyangka jika penari yang ada di video itu adalah bocah yang bahkan belum genap berumur sepuluh tahun!

"Menurut ibu, sayang sekali kalau Vivi membuang begitu aja bakatnya. Kamu setuju, kan?"

Nabila bergumam pelan tanda setuju.

"Ibu ingin membantunya bersinar sekali lagi. Selain itu, entah mengapa ibu merasa salah satu penyebab Vivi meninggalkan tari tradisional karena kesalahan ibu." Sinar di wajah Bu Lina mendadak redup. Ia pun tersenyum pahit. "Ya, anggaplah ini sebagai salah satu cara ibu menebus dosa pada Vivi," lanjutnya sambil menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. "Tapi kamu jangan bilang-bilang sama Vivi, ya. Biar ini jadi rahasia kita berdua."

Nabila mengangguk patuh. Ia sesunguhhnya tak mengerti dosa apa yang dimaksud, tapi entah mengapa ia jadi tergerak untuk membantu Bu Lina mewujudkan harapannya. Ia betul-betul ingin melihat Vivi bersinar lagi di atas panggung.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now