#10 - Aku Hanyalah Seorang Pendosa

2.4K 387 21
                                    

Galih menarik napas berat. Semenjak berangkat tadi Vivi tampak sangat murung. Pancaran cahaya di matanya makin redup. Ia takut Vivi akan melakukan hal-hal aneh lagi seperti kemarin malam. "Neng Vivi," panggilnya.

Vivi tak membalas.

Galih berpikir sejenak; haruskah ia melanjutkan pembicaraan ini atau tidak. Dengan perasaan ragu yang masih menggelayuti hati, Galih kemudian berkata lagi. "Mau bantu-bantu Mbok jualan di alun-alun besok lusa?" tanyanya hati-hati. Sebenarnya ia tak terlalu berharap Vivi mau menjawab pertanyaanya, tapi diamnya gadis itu sungguh membuatnya resah.

Vivi lagi-lagi tak merespon.

Galih yang sudah kehabisan akal lalu melirik spion. Seketika jantungnya seperti teriris menyaksikan bahu rapuh itu berguncang. Sesekali isakan samar terdengar. Ingin sekali Galih merengkuh tubuh ringkih itu dan menenangkannya, tapi Vivi tak akan mungkin mengizinkan. Air matanya tanpa sadar juga turut menetes. Sesungguhnya ia tak sampai hati melihat sosok gadis yang berharga di hidupnya menderita seperti ini.

Galih akhirnya membiarkan Vivi menangis dalam diam. Beberapa saat kemudian, ia bersyukur melihat guncangan di bahu itu berangsur-angsur reda. Senyuman kecil terbit di wajah pemuda itu kala matanya menatap jalanan. Pagi itu, jalan desa yang di pinggirnya dibatasi oleh pohon-pohon mahoni masih terlihat lengang. Hanya satu-dua kendaraan yang lewat. Ketika mereka memasuki batas desa, sebuah asap hitam yang membumbung tinggi dari kejauhan mendadak menyita perhatian.

"Ada kebakaran, ya?" Galih bergumam kecil, tetapi Vivi masih sanggup mendengarnya.

Samar-samar suara sirine mobil pemadam kebakaran dan ambulans ramai terdengar. Sebuah gang yang menghubungkan jalan desa dengan pemukiman warga terlihat dipadati orang-orang yang tertarik melihat musibah itu.

Vivi spontan memalingkan wajah saat sepeda motor yang ditumpanginya melintas di dekat kerumunan warga. Entah mengapa hatinya selalu tak nyaman saat berada di tengah keramaian. Ditambah, kobaran api adalah hal yang paling menakutkan baginya, ia tak tahu mengapa, hanya dengan mendengar kata kebakaran atau melihat asap hitam yang mengepul di langit mampu membuat punggungnya dingin.

"Oh, ya. Neng Vivi ada yang titip salam," cetus Galih demi menghilangkan kebisuan di antara mereka.

"Siapa?"

Ekspresi wajah Galih berubah cerah setelah mendapat balasan dari Vivi. "Neng Vivi inget nggak sama Bu Lina yang pengajar tari? Seingat saya, waktu SD dulu Neng Vivi pernah belajar tari daerah sama beliau, kan?"

"Nggak. Saya nggak ingat."

Galih meringis kecil. "Ya, udah. Nggak apa-apa. Tapi, kata beliau sih, dia kepingin ketemu sama Neng Vivi kalau Neng Vivi ada waktu. Dia bilang kangen. Soalnya dulu Neng Vivi satu-satunya muridnya yang paling beliau suka."

Vivi mendengus mendengar perkataan Galih. "Kalau ketemu sama dia, sampaikan terima kasih dari saya."

Galih tersenyum lebar. Vivi itu tak pandai berbohong dan ia tahu betul akan hal itu.

Merasa dipermainkan, Vivi memalingkan wajahnya yang merah padam. Ia pun memejamkan mata sejenak untuk mengenyahkan rasa malu yang menggelayuti hatinya. Di detik berikutnya ia membuka mata, sebuah pemandangan ganjil yang tersuguh di depan sana mampu menyita perhatiannya.

Tepat seratus meter di depan, Vivi dapat melihat dua orang lelaki tengah berjalan pelan. Penampilan mereka berdua terlihat sangat kontras. Lelaki yang satu memakai sepasang sepatu kulit serta memakai setelan jas terbaik. Sementara yang satunya bertelanjang kaki dan hanya memakai selembar gaun putih lusuh yang hanya menutupi sampai betis.

Vivi memandang heran. Orang waras mana yang memakai pakaian seperti itu di pagi-pagi buta?

Begitu motor yang membawanya melintas tepat di depan mereka, Vivi merasa waktu di sekelilingnya melambat. Vivi tak sadar telah menahan napas ketika si lelaki berjas hitam menoleh.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now