#4 - Jika Kesepian Dapat Membunuh, Maka Aku Telah Mati Ribuan Kali

4.5K 583 21
                                    

Butuh waktu kurang lebih satu jam berkendara bagi mereka untuk sampai ke tempat kerja Vivi yang letaknya lumayan jauh dari pusat kota. Selama perjalanan, Galih berkali-kali memandangi spion, memastikan bahwa Vivi baik-baik saja. Sementara yang diperhatikan tampak lebih tertarik menatap jalanan.

"Neng Vivi kalau mau pulang bisa kasih kabar ke saya, biar nanti kita pulang sama-sama," ujar Galih tanpa memalingkan wajah.

"Nggak usah. Saya bisa pulang sendiri naik ojek."

"Tapi pasti mahal."

"Saya bilang saya bisa pulang sendiri!"

Galih mengangguk samar. Bersamaan dengan itu, motor matic yang membawa mereka pun berhenti di depan sebuah minimarket yang kanan dan kirinya diapit oleh dua rumah makan.

"Saya pamit dulu. Hati-hati, ya, Neng," ucap Galih sebelum menjalan kembali sepeda motornya menuju tempat kerjanya sendiri.

Vivi terdiam di tempatnya sambil lamat-lamat mengamati punggung Galih yang makin mengecil. Sepeda motor yang membawa Galih kemudian berbelok ke sebuah tempat. Dari tempatnya berdiri, gadis itu dapat melihat sebuah tiang menjulang dengan papan berpendar di atasnya. Meski kecil, Vivi masih mampu untuk membaca nama sebuah bank swasta nasional yang tertera di sana.

Ya, Galih bekerja di bank itu sebagai seorang teller. Huh, siapa yang menyangka jika seorang anak mantan asisten rumah tangga yang dulu sering ia musuhi, kini mempunyai pekerjaan yang lebih tinggi derajatnya? Oh, lihat, betapa Tuhan mempunyai selera humor yang konyol.

Vivi melihat jam di ponselnya sekilas. Pukul enam lewat lima belas. Hari ini adalah hari ketiganya bekerja dan ia harap hari bisa cepat berlalu agar ia bisa langsung kembali ke rumah dan tidur. Kepalanya mendadak sakit setelah kejadian bertemu hantu sialan itadi.

Ia kemudian melangkahkan kakinya menaiki undakan tangga dan membuka pintu kaca minimarket. Di dalam, Vivi dapat melihat seorang wanita berkacamata tengah berdiri di samping meja kasir. Dia adalah salah satu kasir senior yang selalu bersikap baik kepadanya. Entah ada maksud lain di balik kebaikannya itu atau tidak, Vivi tak mau ambil pusing.

"Selamat pagi, Mbak," sapa Vivi berusaha ramah. Meski enggan, ia harus tetap bermanis-manis muka pada semua orang jika ingin terus bisa bekerja.

"Pagi juga, Vivian," balas wanita itu sambil memaksakan senyum. Untuk beberapa saat Vivi merasa aneh saat mendapati wajah mendung seniornya itu.

"Hei, kamu anak baru," panggil seseorang dari belakang.

Vivi menarik napas panjang saat tahu yang memanggilnya adalah sang asisten kepala toko. "Ya, ada apa, Pak?" sahutnya sambil memaksakan senyum. Jujur saja, ia langsung tak menyukai atasannya itu karena ia kerap kali memerintah tanpa tahu situasi.

"Kamu sekarang kerjain planogram bagian snack, soalnya ada perubahan harga. Yang cepat, sebentar lagi kita mau buka. Dan jangan lupa lap pintu dan semua kaca depan sampai bersih." perintah laki-laki itu sambil berjalan keluar toko. Entah mau ke mana dia, Vivi tak peduli.

Setelah mendapatkan price tag yang di maksud, gadis itu pun menggerakan kedua tangannya setengah tak ikhlas. Mengganti kertas price tag semua makanan yang ada di dalam rak memang bukan hal yang sulit, hanya butuh ketelitian, tapi berbeda bagi Vivi. Pekerjaan ini sungguh menghancurkan harga dirinya. Jika diibaratkan, dulu dia adalah putri yang hidup dalam kemewahan, tapi sekarang ia nyaris seperti budak yang selalu diperintah majikan.

Butuh waktu sepuluh menit bagi Vivi untuk menyelesaikan tugasnya mengganti price tag. Karena tak mau mendengarkan ocehan si asisten kepala toko, gadis itu bergegas mengambil kain lap dan cairan pembersih di ruang karyawan. Tepat sekembalinya dari ruang karyawan, seorang lelaki dengan setelan hitam memasuki toko dan langsung berjalan menuju rak berisi makanan ringan.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang