#22 - Hujan Badai (2)

1.1K 216 7
                                    

Ia tahu seharusnya segera pergi dari desa ini, tapi dengan bodohnya ia masih bertahan untuk mencari Unengan. Tanpa kenal lelah Angreni bertanya pada siapa saja yang ditemui. Sayang, meski sudah tiga hari bersusah payah, ia tetap tak mendapatkan jawaban apapun. Mungkinkah gadis kecil itu hanya anak seorang pedagang yang kebetulan tengah singgah sebentar di desa ini?

Di hari keempat, Angreni sungguh tak menduga jika anak buah Pu Watabwang berhasil menyusulnya ke desa itu. Didera rasa panik, Angreni sekuat tenaga menghindari mereka. Diam-diam ia berbaur dengan penduduk, lalu memutuskan masuk hutan setelah berhasil keluar dari pemukiman. Menurutnya, jauh lebih aman jika ia bersembunyi dalam hutan.

Bunyi ranting dan dedaunan kering bergema saat dirinya melangkah. Petang itu, mendung mulai menggantung di langit yang diikuti dengan gemuruh serta embusan angin kencang. Angreni harus memeluk dirinya erat-erat untuk menghalau rasa dingin yang menyusup hingga tulang. Malam ini, ia harus mencari sebuah tempat di mana ia bisa aman menunggu sampai pagi di tengah hujan. Namun, di tengah perjalanan, langkahnya terhenti saat sayup-sayup terdengar derak roda gerobak yang diikuti derap kuda. Mengikuti insting, ia pun bersembunyi dengan menaiki pohon berbatang kokoh dan berdiam diri di atas cabang yang tertutup dedaunan rimbun.

Tak lama, dua kuda yang ditunggangi dua lelaki berwajah seram beserta gerobak yang mengangkut sekumpulan orang muncul dari arah barat. Satu roda gerobak itu nyaris lepas sehingga mereka berjalan dengan sangat lambat. Angreni merasa darahnya mendidih saat ia mengenali salah satu dari lelaki itu. Dia ... dia anak buah wli wasya yang pernah menculiknya!

Ketika rombongan itu melintas persis di depan pohon tempatnya bersembunyi, Angreni refleks memalingkan wajah. Ia tahu rasanya menjadi budak belian, jadi ia tak sampai hati untuk melihat pemandangan menyedihkan itu. Namun, ketika ia menoleh kembali, ia sempat tak mempercayai apa yang telah dilihatnya. Unengan berada di antara para sandera! Gadis cilik penolongnya itu terduduk dengan tangan dan kaki terikat. Bahunya berguncang hebat.

"Unengan ..." Angreni sungguh tak tahu apa yang harus ia lakukan. Andai saja ... andai saja Dharmaja ada di sini.

Angreni mendadak melompat turun, lalu berlari mendahului laju gerobak dan kuda-kuda di depannya. "Berhenti!" teriaknya sambil merentangkan tangan lebar-lebar.

Lelaki yang Angreni kenali sebagai anak buah wli wasya yang menculiknya pun menghardik, "Apa yang kau lakukan bocah sialan? Cepat minggir, atau kau akan berakhir sama dengan orang-orang dalam gerobak!"

Angreni tertawa mencemooh. Ia tahu lelaki ini adalah seorang penjilat, tapi sayangnya ia bodoh, jadi semua usaha untuk mencuri perhatian tuannya tak pernah berhasil. "Apa kau lupa denganku? Aku Angreni yang pernah kauculik dulu!"

Lelaki itu terdiam, seperti tengah mengingat-ingat sesuatu. Tak lama, ia kemudian sadar dan langsung melompat turun dari kuda. Ia menatap Angreni seolah-olah gadis cilik itu adalah adalah harta rampasan perang.

Angreni tersenyum menantang. "Kau sudah ingat sekarang? Aku yakin kau sudah tahu jika tuanmu itu tengah mencariku. Hari ini, aku menawarkan diriku padamu. Jika kau bisa membawaku dengan tanganmu sendiri, aku yakin sekali kau akan mendapatkan imbalan yang besar dari tuanmu itu."

"Lalu apa yang kau inginkan dari pertukaran ini, Bocah sialan?"

"Tidak banyak." Angreni melirik ke arah gerobak. Dilihatnya tangis Unengan sudah reda. Saat tatapan mereka bertemu, ia tersenyum. "Aku menukar diriku dengan salah satu sanderamu," ucapnya seraya menunjuk Unengan.

Tak disangka Unengan mengenalinya. Dengan mulut yang ditutupi kain, gadis cilik itu berteriak dan meronta-ronta, seakan-akan ia tengah menunjukkan ketidaksetujuan.

"Bagaimana? Gadis cilik itu tak berarti apa-apa dibanding diriku. Lagi pula bobot gerobakmu sudah tak bisa menampung satu orang lagi. Dan, aku yakin kau juga tak ingin seorang sudra hina ini menaiki kuda yang sama denganmu, bukan?" Angreni dengan diplomasinya yang lugas. Tanpa perlu bersusah payah menjelaskan, ia berhasil memengaruhi lelaki itu hanya dengan beberapa kalimat.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now