#21 - Negeri Pemberontak (3)

1.1K 219 8
                                    

Dharmaja terbangun dengan rasa sakit yang mendera sekujur badan serta napasnya sesak. Ia baru menyadari jika ia kini tengah tidur dengan posisi setengah tengkurap. Untuk sesaat, ia merasa tersesat karena tak tahu tengah berada di mana. Namun, begitu kesadarannya pulih, ia akhirnya tahu kalau dirinya tak sedang berada di rumahnya. Panik, ia mencoba bangkit tetapi terjatuh kembali lantaran tangan dan kakinya terikat pada tiang dipan.

"Ja-jangan bergerak! Na-nanti lukamu terbuka lagi."

Dharmaja menoleh. Di sampingnya berdiri bocah lelaki kurus berwajah feminim. "Siapa kau dan di mana ini? Kenapa aku bisa ada di sini?" Suaranya terdengar kasar dan tinggi.

Mendengar suara Dharmaja yang menggelegar, punggung bocah itu langsung mengerut seperti udang. "A-Agrapinda. Rahadyan menemukanmu sekarat tiga hari lalu. Kemudian, ia memerintahkan ayah menyewa rumah ini khusus untuk merawatmu."

"Rahadyan?" Dharmaja tiba-tiba tertawa geli. Ia sudah bisa menebak siapa yang dimaksud bocah ini. "Apakah yang dimaksud olehmu itu Rawisrengga?"

Agra terperanjat karena tanpa sadar mengatakan hal yang seharusnya menjadi rahasia. Identitas Rawisrengga tak boleh ada yang tahu.

Satu-satunya orang yang paling ia benci di dunia malah menyelamatkannya? Astaga, lawakan macam apa ini? "Aku mengenalnya. Sekarang, lepaskan ikatanku."

Secara insting, Agra mundur beberapa langkah. Apalagi setelah melihat sorot mata Dharmaja yang sarat kebencian. "Ti-tidak bisa. Rahadyan telah memerintahkanku untuk menahanmu sampai mereka kembali."

Tiba-tiba, Dharmaja meraung kesetanan dan meronta-ronta dan berteriak macam babi gila yang hendak disembelih. "Cepat lepaskan atau akan kuhancurkan rumah ini sekaligus dengan tubuh ringkihmu itu!" Kain yang membalut lukanya basah akibat darah yang mengucur dari luka yang belum tertutup rapat.

Pada dasarnya, Agra hanyalah bocah cengeng dengan nyali sebesar kacang. Melihat kebrutalan Dharmaja, bocah itu langsung menangis dan meringkuk di sudut kamar.

Beruntung Rawisrengga dan Nawarsa pulang lebih cepat. Nawarsa bergegas menotok titik-titik di dadanya sehingga, meski dalam keadaan sadar, ia tak bisa bergerak. Hanya mulut dan pendengarannya saja yang masih berfungsi. Sedangkan Rawisrengga berinisiatif untuk menenangkan Agra.

"Apa yang Paman lakukan?! Cepat lepaskan aku! Aku harus mencari Angreni!" Dharmaja berteriak. Wajah dan matanya memerah menahan kemarahan yang menggelegak.

"Nilaprabangsa, tenangkan dirimu dulu."

Dharmaja tiba-tiba tergelak. Sudah lama sekali ia tak mendengar nama pemberian ibunya disebut. Dia memiliki banyak nama, bahkan nama Dharmaja yang saat ini dipakainya pun adalah nama yang ia catut asal dari seorang brahmana yang tak sengaja ia temui di jalan.

"Aku akan melepaskanmu, Raka," Rawisrengga seketika berucap, "Kau bilang kau ingin mencari Angreni, bukan? Apakah Angreni adalah bocah perempuan yang kau gendong di pertemuan kita tempo hari? Kalau benar, aku akan membantumu menemukannya."

Dharmaja meludah. "Hei, Rawisrengga. Aku mengerti sekali dengan otak culasmu itu karena kita mewarisi darah yang sama, jadi aku tak yakin kau mau membantuku dengan cuma-cuma."

Rawisrengga menggeleng sambil melemparkan pandangan terluka. "Kau tidak percaya padaku?"

Dharmaja membuang muka.

"Aku tulus ingin membantumu, Raka. Kau tak bisa mencarinya sendirian. Kau sedang terluka parah. Aku yakin bisa membantumu karena aku punya banyak kenalan dan relasi. Tapi pertama-tama, kau bisa ceritakan kau bisa terluka seperti ini? Apakah Angreni diculik dan kau bertarung mati-matian untuk menyelamatkannya?"

Tak ada satu jawaban pun yang keluar dari mulut Dharmaja.

"Raka, kalau kau diam saja, aku tak bisa membantumu. Benar begitu, Paman?" Rawisrengga melirik Nawarsa yang berdiri tak jauh darinya, seolah meminta dukungan. Dharmaja menghinanya dalam hati. Ia kira adiknya ini benar-benar sudah bisa berdiri di kakinya sendiri, tapi nyatanya dia tak ubahnya anak ayam yang masih butuh induk.

"Aku berterima kasih karena kau telah menolongku. Tapi aku yakin kau menginginkan sesuatu di balik itu. Jadi, apa yang kau inginkan? Katakan dengan jelas!"

Rawisrengga berusaha mempertahankan senyum karena sudah terbiasa dengan mulut tajam Dharmaja. "Kau saudaraku yang berharga, Raka. Jika kau kesulitan, aku pasti akan mengerahkan upaya untuk membantumu. Bukankah ayah pernah bilang jika ikatan di antara kita tak akan bisa terputus oleh apapun?"

Dharmaja tertawa mencemooh. "Omong kosong. Kau sendiri bahkan tak menjawab pertanyaanku."

Senyum di wajah Rawisrengga menghilang. Pandangannya menunduk. Mulutnya membuka-menutup sebelum ia berujar lambat, "Kembalilah, Raka. Aku membutuhkanmu."

.

.

.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now