#13 - Sesuatu yang Harusnya Tak Terlihat (2)

1.6K 318 2
                                    

Hal pertama kali yang Vivi lihat setelah membuka mata adalah kegelapan. Badannya terasa ringan bagai bulu yang terapung-apung di udara. Hati dan pikirannya kosong, lenyap dimakan kehampaan. Apakah ... ia sudah mati? Kalau belum, ia tak mau kembali. Biarkan saja dia di sini membusuk sendirian.

Tiba-tiba, sebuah suara menggelegar terdengar, ditambah sekilat cahaya menyambar penglihatan. Vivi sontak menjerit dan menangis menahan pedih.

"Kau tidak seharusnya berada di sini, Anaku."

Vivi terperanjat tatkala seseorang berucap. Saat itu juga ia merasakan sebuah tangan mengusap lembut bahunya. Ketakutan melanda. Vivi berusaha sekuat tenaga untuk membuka mata meski rasanya sangat sakit.

"Kembalilah." Suara itu terdengar lagi.

Gadis itu menggeleng putus asa sambil terisak-isak. Sakit. Sakit sekali. Seperti ada duri tajam yang menusuk-nusuk bola matanya. Di tengah kesakitan itu, ia merasakan sesuatu yang dingin mengusap lembut kelopak matanya seraya menyeka bulir-bulir air mata yang tertahan. Seperti sihir, rasa sakit itu mendadak hilang.

"Kau bisa membuka mata sekarang," perintahnya.

Awalnya Vivi menolak. Namun, tepukan lembut yang mampir di bahunya membuatnya tenang. Perlahan, Vivi mencoba membuka kelopak matanya yang terasa berat. Setitik cahaya hadir seperti kunang-kunang; satu, dua, dan kemudian bertambah banyak hingga kegelapan yang menyelimuti sirna.

Vivi itu terhenyak saat mendapati sosok lelaki bertopeng kayu tengah berjongkok di hadapannya. "Si-siapa?" pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

Alih-alih menajwab, sosok bertopeng itu malah neraih lengan Vivi dan kemudian membantunya berdiri. "Kembalilah. Tidak seharusnya kau berada di sini," ucapnya kemudian.

Vivi menggeleng lemah. "Nggak. Saya nggak mau kembali."

"Ada orang yang menunggu kedatanganmu di sana."

"Nggak ada!" Vivi berteriak. Napasnya memburu, menahan gejolak perasaanya yang meletup-letup. "Nggak ada siapa-siapa di sana. Saya ... saya udah nggak punya tempat lagi." Setitik air mata meluncur jatuh. "Biar ... biar saya di sini," ucapnya tergugu.

"Kamu salah, Anakayu. Ada dia yang selama ini menunggumu ratusan tahun untuk bertemu. Ada dia yang sabar menantimu menitis pada wujud baru agar bisa kembali bersatu," katanya sambil membelai lembut wajah Vivi. Vivi yang tak suka, serta-merta menepis tangannya.

"Jangan sentuh saya!"

"Maka dari itu kembalilah. Temui dan hapus kesedihan mereka."

"Apa—"

Belum sempat Vivi menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba lelaki itu mendorong tubuhnya kuat-kuat. Tanpa ia sadari, tempatnya berpijak terbelah dan ia pun terjatuh ke dalam lubang tak berdasar. Vivi menjerit sekuat tenaga sambil menggapai-gapai udara. Sayangnya, tak ada siapapun di sana yang menolongnya ...

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang