#16 - Kebenaran Tak Akan Pernah Pudar (2)

1.4K 282 10
                                    

Sejujurnya Vivi sama sekali tak bisa tertidur barang sedetik sejak kepergian Galih dari kamarnya semalam. Ia juga sempat mendengar tangisan pemuda itu, tapi mungkin hatinya sudah terlalu tumpul hingga ia tak merasakan apa-apa. Gadis itu kemudian mengambil ponselnya dari atas nakas lalu menatap sekilas. Satu pengingat yang tertera di layar membuat senyum kecil di wajahnya terkembang.

Mama ... papa ... maafin Vivi yang nyaris melupakan hari itu.

Gadis itu kemudian turun dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamar. Ia bisa melihat jendela sudah terbuka lebar sehingga rumah kontrakannya yang selalu tampak suram jadi terang. Pasti pekerjaan Mbok Sum, Vivi membatin. Ia kemudian melangkah ke ruang tamu. Semangkuk bubur yang ditutupi piring kaleng sudah tersaji di atas meja tamu reyotnya bersama dengan selembar kertas berisi tulisan Mbok Sum. Karena tak berselera, ia membiarkan bubur itu di ruang tamu dan langsung berjalan menuju kamar mandi.

Usai membersihkan diri, Vivi kembali ke kamarnya. Wajahnya terlihat cerah dan segar, meski rona pucat masih mendominasi. Kemudian, dengan santai ia menarik sepotong gaun dari tumpukan baju di lemari. Dipandangi gaun itu sebentar. Modelnya sederhana, hanya ada renda yang menghiasi bagian kerah dan ujung bawah gaun. Ia ingat betul kalau gaun itu kesukaan ibunya. Dulu, ayahnya memberikan gaun itu sebagai peringatan ulang tahun pernikahan mereka.

Setelah bepakaian, Vivi lalu berjalan menuju cermin untuk merias diri. Rambut panjangnya ia ikat ekor kuda, bedak serta perona pipi tak lupa ia sapukan di wajah, dan terakhir lipstik warna koral ia oleskan di bibir pucatnya. Gadis itu tersenyum menatap pantulannya sendiri. Rasanya, seperti melihat dirinya yang dulu sebelum masalah menyerangnya bertubi-tubi. "Welcome back, Vivian." Sebongkah rindu terdengar begitu nyata dari ucapannya barusan.

.

.

.

Sedari tadi Galih tak henti meremat tangannya sendiri. Keringat dingin terus mengalir deras di punggungnya dan hal itu membuatnya tak nyaman. Terlebih lagi, sejak pagi sampai sekarang wajah Kris selalu terngiang di benaknya. Seperti dejavu, ia merasa telah mengenal Kris sejak lama. Namun, mau seberapa keras ia menggali memori, ia tetap tak menemukan ingatan tentang Kris yang tersimpan di otaknya. Siapa sebenarnya Kris? Mengapa saat melihat wajahnya ia merasakan rindu yang tak terkira?

"Galih, kamu kenapa, tho?" tanya rekannya yang bingung melihat tingkah Galih.

"Nggak apa-apa." Galih menggeleng sambil memaksakan senyum. Sesungguhnya ia tengah berdusta. Bagaimana dirinya bisa merasa baik-baik saja setelah dengan tidak sopannya ia mengucapkan sesuatu yang aneh kepada anak bosnya sendiri? Walau ia telah meminta maaf berkali-kali dan Bu Silvia juga tampaknya tak mempermasalahkan hal tersebut, tapi tetap saja ada sekelumit perasaan takut yang menghantuinya.

Selama sisa waktu sampai istirahatnya tiba, Galih terus gelisah, walau sekuat tenaga ia tutupi dengan sikap profesional. Ia ingin segera memegang pensil dan menggoreskannya di atas kertas—hal yang sering ia lakukan ketika ia dilanda resah.

Begitu waktu istirahatnya datang, pemuda itu segera melesat ke ruang karyawan. Di sana ia membuka buku sketsanya dan mulai menggoreskan pensil di atasnya. Teman psikolognya mengatakan kalau menggambar merupakan salah satu metode efektif untuk menghilangkan stress. Galih pun mengikuti sarannya tersebut. Dari situlah mengapa ia selalu menuangkan wajah-wajah atau adegan-adegan yang muncul dalam mimpi buruknya ke dalam buku sketsa.

Saat Galih tengah fokus mengarsir untuk memberikan sentuhan terakhir pada gambar yang dibuatnya, tiba-tiba saja pintu ruang karyawan dibuka oleh Bu Silvia. "Oh, maaf. Saya kira nggak ada orang," kata wanita itu.

Galih mendadak menegakkan punggung saat atasannya itu duduk di hadapan meja yang ditempatinya. "A-ada yang bisa saya bantu, Bu?" tanyanya gugup.

Bu Silvia menggeleng lalu tersenyum. "Kamu suka gambar, ya, Galih?" ucap wanita itu sambil melongok ke buku sketsa Galih.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now