#36 - Bayangan Hitam (1)

466 105 1
                                    

Bayak hal yang terjadi di luar kehendaknya, ia tahu betul itu. Tidak perlu ada yang mengingatkan. Ia bukan bodoh dan tak tahu diri. Hanya saja, begitu semua masalah menghantamnya, ia tak bisa lari. Seperti orang yang terjatuh ke sumur, tenggelam, dan tak bisa keluar selama berhari-hari. Yang bisa ia lakukan hanya bedoa dan pasrah menunggu kematian. Menyedihkan.

Namun, untuk hal yang satu ini ia tak ingin menyerah. Ia telah mendapatkan jalan keluar. Sebelah tangannya kemudian terulur untuk merogoh tas jinjing yang dibawanya tadi siang, lalu mengeluarkan buku catatan kecil. Di halaman yang ditandai tali, tertulis sebaris alamat yang diberikan kawannya. Alamat yang dituju tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu setengah jam perjalanan. Tidak apa-apa. Sejauh apapun akan ia sambangi tempat itu demi Vivi, bahkan jika harus merogoh kocek lebih banyak, seperti yang dilakukannya siang tadi; mentratktir temannya di restoran cepat saji.

Tante Dinar menarik napas panjang seraya menyandarkan punggung di sandaran sofa. Ia tak lagi muda, tahun ini umurnya sudah mencapai setengah abad. Leher, pinggang, dan punggungnya sering terasa sakit dan kesemutan. Akan tetapi, demi Vivi, demi keluarga satu-satunya yang ia punya sekarang, ia bisa bertahan. Kipas angin yang menyala di atas kepalanya menyita perhatian. Baling-balingnya yang berputar searah jam seolah-olah membawa kembali waktu-waktu yang telah lewat.

Delapan belas tahun lalu, melalui surat adiknya memberi kabar bahwa dirinya telah melahirkan bayi perempuan yang lucu dan cantik. Bersamaan dengan surat itu, adiknya juga menuliskan permohonan maaf atas kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya. Tante Dinar tak bisa melukiskan perasaan yang mengaduk-aduk batinnya saat itu. Ia muak pada kelakuan adiknya yang pembangkang, tapi ia tak bisa membenci keponakannya yang baru lahir itu. Bayi itu masih suci dan tak bercela. Kehadirannya tak bisa disangkut pautkan dengan dosa-dosa yang dilakukan kedua orang tuanya.

Selain kabar yang diterima, adiknya juga mengirimkan sejumlah foto Vivi yang baru lahir dengan berbagai hadiah, tapi ibunya menolak untuk menerima. Barang-barang itu sempat ingin dibakar olehnya. Tante Dinar mengerti akan kemarahan ibunya, tapi ia masih punya hati. Darah yang mengalir di tubuhnya lebih kental daripada air. Diam-diam ia mengambil foto-foto itu dari tempat sampah dan menyimpannya.

Saat mendekati ajal, ibunya yang ternyata memendam rindu selama bertahun-tahun meminta untuk bertemu sang adik. Tentu permintaan terakhirnya itu sulit dikabulkan karena adiknya bersama keluarga kecilnya tengah berada di luar negeri. Dengan sangat terpaksa, sambil tersedu-sedu, Tante Dinar memberikan foto-foto keluarga kecil adiknya kepada sang ibu untuk mengobati kerinduannya yang menyiksa. Melihat foto-foto itu, air mata sang ibu menetes bersamaan dengan doa-doa tulus yang terucap, permohonan maaf adiknya pun diterima. Sayang, ketika adiknya pulang, ibunya telah tiada.

Tanpa sadar, Tante Dinar mengulas senyum tipis, teringat berita baik yang disampaikan Nabila siang tadi. Syukurlah Vivi saat ini sedang baik-baik saja. Ia dikelilingi orang-orang yang tulus mencurahkan kasih sayang kepadanya. Ia akui selama ini dia belum menjadi wali yang baik, temperamennya buruk dan mudah tersulut emosi, tapi ia tak membenci Vivi.

Atensinya kemudian teralih pada kalender yang tergantung di dinding. Sebentar lagi adalah ulang tahun Vivi. Selama delapan belas tahun ia belum pernah memberikan hadiah ulang tahun untuk keponakannya itu. Ia kemudian mengambil buku catatan besar dari kolong meja, lalu memeriksa laporan keuangan usahanya. Tiga bulan belakangan kondisi usaha air minum isi ulangnya sedang tidak stabil, tapi untungnya tidak terjadi penurunan pemasukan yang signifikan. Senyum simpul terbit di wajahnya. Ia bisa membelikan kado ulang tahun yang spesial untuk Vivi. Namun, sebelum itu, ada satu urusan mendesak yang harus ia lakukan demi keselamatan keponakannya itu.

.

.

.

Keesokan harinya Tante Dinar menyambangi alamat orang pintar yang diberikan kawannya kemarin. Hujan rintik turun dari pagi, tapi hal itu tak menyurutkan niatnya. Setibanya di alamat yang dituju, Tante Dinar berhenti, lalu membuka kaca helm sambil memperhatikan keadaan sekitar rumah.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon