#35 - Secercah Harapan

470 97 5
                                    

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tadinya Vivi berniat untuk tidur lebih awal. Namun, eksistensi Nabila yang masih berjibaku dengan tumpukan tugas di ruang tengah membuatnya mengurungkan niat. Sudah hampir dua setengah jam dia di sana. Karena tak tega, Vivi menawarkan diri untuk membantu.

Nabila yang mendengar tawaran itu langsung meninggalkan latopnya di meja. Sambil menyengir lebar, ia merangkak mengambil tasnya yang berada di sofa, lalu mengambil sesuatu dari dalam. Vivi mengernyit. Lilin? Buat apa?

Pertanyaan itu tersangkut di lidah ketika Nabila melesat menuju dapur. Samar-samar kemudian tercium aroma lemon di udara. Vivi kenal betul dengan aroma ini. Wangi manis dan asam yang padu bagai hujan menyapu kemarau, membuat memori yang ia taruh di belakang kepala menyeruak satu per satu. Ia menghirup aroma itu dalam-dalam sambil terpejam, mengisi tiap rongga dadanya dengan kerinduan. Ketika ia membuka mata, hal pertama yang dilihat adalah apartemen yang begitu dikenalnya.

Apartemen yang ia tinggali di Singapura bertahun-tahun lalu.

Suara siaran berita dari televisi membuatnya tersentak. Ia menoleh dengan cepat dan nyaris menangis. Itu ayahnya! Ia masih hidup dan sehat. Air mata seketia menggenang di pelupuk mata. Ayahnya tengah membaca laporan saham, televisi yang menyala diabaikan. Kapan ayahnya ke sini? Ia seharusnya bekerja di Bandung. Ini bukan musim liburan. Atensi Vivi teralih ketika bunyi oven berdenting. Ibunya buru-buru berlari menuju dapur. Wajahnya tampak cerah. Kue hasil mempraktikkan resep baru akhirnya matang. Vivi tertegun. Ibunya juga datang?

"Neng Vivi."

Panggilan Nabila berhasil menariknya kembali. Ia memandang bocah itu lamat-lamat. Nabila menyengir sambil menyodorkan cangkir berisi cokelat hangat. Vivi menurut. Wajahnya masih mendung, tapi ia tak ingin Nabila kecewa. Jadi, ia menyicipi sedikit cokelat hangat itu. Rasa manis yang tertinggal di lidah membuat jantungnya serasa dicubit.

Nabila mengotak-atik laptop sebentar. Tiba-tiba saja, dentingan piano dari musik bossa nova mengalun. Vivi berusaha sekuat tenaga menahan gemuruh di dada. Kerinduan yang mendalam, kesedihan tak bertepi, dan keputusasaan yang nyaris merenggut hidupnya berjejalan keluar. Begitu menyesakkan. Ia sungguh tak tahan dan ingin segera menyembunyikan diri karena takut melihat Nabila melihat kembali sisi lemahnya. Namun, Nabila dengan sorot mata cerah dan lugu menahan lengannya. Segala emosi negatif itu lantas menguap dengan cepat. Kehadiran Nabila bagai air yang memadamkan api, karena bocah itu selalu memberikannya dukungan, perhatian, dan kasih sayang dengan caranya yang sederhana tanpa pamrih.

Ujung mata Vivi sedikit basah, tapi ia tak ingin Nabila tahu.

Musik bossa nova masih mengalun. Vivi ikut bersenandung sambil mengajak Nabila ikut serta, tapi bocah itu menolak dengan halus, dengan alasan ia tak bisa bahasa Inggris serta suaranya tidak bagus. Vivi tergelak.

Bossa nova adalah favorit ayahnya dan mendengarnya lagi membuatnya teringat rumah. Tiap malam, musik itu akan mengalun. Jika hati ayahnya sedang sangat bagus, ia akan mengajak ibunya berdansa, ditemani dengan aroma lemon yang menguar di udara. Setelah pindah ke Singapura tanpa orang tua, perasaan rindu yang sering datang di malam-malam dapat ia redam dengan menghirup aroma lemon kesukaan ibunya. Tak lupa ia menyetel bossa nova melalui penyuara telinga. Jika rindunya begitu besar dan tak tertahan, ia akan menelepon orang tuanya, mengajak mereka berdansa, menyanyi, dan tertawa sampai ia bisa melupakan kerinduannya akan rumah.

Pun begitu dengan cokelat hangat dan biskuit manis. Dulu, dua hal itu akan disiapkan langsung oleh ibunya tiap waktu belajar malam tiba. Ibunya tak perlu repot-repot meminta bantuan Mbok Sum karena ia memiliki resep khusus yang tak mau ia bagi meski Vivi bertanya.

"Neng Vivi suka sama cokelatnya?" Nabila bertanya sambil berharap cemas. "Maaf kalau rasanya ndak sama dengan yang dibuat ibunya Neng Vivi. Soalnya cuma minuman bungkusan. Biskuitnya juga."

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now