# 14 - Selubung Kabut (1)

2K 356 13
                                    

Vivi sontak membuka mata dengan napas memburu. Ia lantas mengedarkan pandangannya ke segala penjuru dengan gelisah. Plafon putih asing, tiang infus dengan sebotol cairan bening tergantung, ranjang besi serta linen garis-garis hitam. "Di mana?" ujarnya parau.

"Ah, kamu sudah sadar, Vivian?" tanya seorang lelaki dari samping.

Gadis itu melirik cemas tapi dengan cepat eskpresinya berubah. "Kamu ... kamu ngapain saya, hah? Saya ada di mana sekarang?!" tanyanya geram.

"Hei, hei, tenang dulu," cegah lelaki itu ketika Vivi hedak bangkit dari rebah. "Kamu lagi ada di klinik. Kamu tadi pingsan di toko, kamu nggak ingat?"

Vivi menjatuhkan tubuhnya kembali ke atas ranjang. Matanya menerawang sambil mengingat peristiwa yang baru saja ia alami. Bayangan ketika gadis-gadis menari serta seorang lelaki yang terus memperhatikannya berlompatan di kepala. Kemudian, setelah itu yang ia rasakan adalah nyeri kepala dahsyat sebelum tak sadarkan diri.

"Sudah ingat?" lelaki itu memastikan. "Kebetulan saya ingin ketemu kamu. Pas lihat kamu pingsan, saya langsung minta izin sama bosmu buat bawa kamu ke sini."

Jadi ... laki-laki yang telah menjatuhkan harga dirinya kemarin ini telah menolongnya?

Vivi meresepon datar. "Terima kasih atas pertolongannya. Saya sudah sehat, sekarang saya mau pulang. Mana dokternya?"

"Tunggu sebentar. Biar saya panggilkan."

Vivi menatap kepergian Dimas dalam diam. Di tengah keheningan yang menyelimuti, ucapan si lelaki bertopeng yang muncul di mimpinya sebelum siuman seketika tengiang. Sebenarnya apa maksud dari perkataannya?

"Bagaimana keadaannya, Vivian?"

Gadis itu terkesiap, lalu menoleh ke arah pintu. Di sana seorang dokter yang sudah sepuh masuk bersama seorang perawat dan Dimas. Vivi refleks memalingkan matanya ke arah lain saat pandangannya dan Dimas bertemu.

"Sudah baikan? Kepalanya terasa pusing, tidak?" tanya si dokter sambil tersenyum ramah.

Vivi menggeleng.

"Saya periksa sebentar, ya." Dokter itu kemudian menempelkan diafragma stetoskop yang terhubung dengan telinganya pada bagian vital tubuh Vivi. Setelah selesai, ia lalu memerintahkan perawat di sebelahnya unttuk mengecek tekanan darah gadis itu.

"Kondisinya bagaimana, ya, Dok?" Dimas bertanya khawatir.

"Hasil dari lab, sih, kondisinya baik-baik aja. Cuma kecapekan," jelas si dokter.

"Jadi, saya udah boleh pulang, kan?"

"Sebentar, ya. Sekarang coba duduk dulu," pinta si dokter.

Dimas awalnya berniat untuk membantu Vivi, tapi dengan tegas gadis itu menolak.

"Sekarang terasa pusing?" tanya si dokter lagi

Vivi menggeleng pelan. Ia bisa melihat kalau Dimas tengah menunjukkan ekspresi tak setuju, tapi ini adalah tubuhnya dan yang berhak menentukan apa yang harus dilakukan adalah dirinya, bukan orang lain. Apalagi lelaki asing yang baru ditemuinya kemarin. "Jadi, saya bisa pulang sekarang, kan, dok?" tanya Vivi lebih menuntut.

Sang dokter tak segera menjawab. Dia memilih untuk menuliskan sesuatu di atas kertas, lalu memberikannya pada suster di belakangnya. Vivi yang melihat itu menunggu dengan tidak sabar.

"Bagaimana, Dok?" Kini giliran Dimas yang bertanya.

"Sudah. Nona Vivi sudah boleh pulang. Saya sudah meresepkan vitamin dan obat penambah darah. Pesan saya, Nona Vivian harus banyak istirahan dan jaga pikiran supaya jangan sampai stres. Kalau ada apa-apa langsung kembali ke sini, oke?"

Vivi mengangguk.

Sang doketr kemudian mengalihkan fokusnya pada Dimas. "Nah, untuk administasi bisa langsung dibayarkan di kasir, ya. Saya permisi dulu."

"Terima kasih, Dok." Dimas mengangguk seraya mengikuti sang dokter. Akan tetapi, baru saja sampai di ambang pintu, lelaki itu kemudian berhenti lalu melirik sebentar ke arah Vivi. Keraguan terpancar jelas di matanya. Haruskan ia mengatakan yang sejujurnya atau tidak. Embusan napas berat ia keluarkan sebelum menutup pintu.

Sepeninggal Dimas, suster yang tadi datang bersama sang dokter memeriksa sebentar infusan yang tersambung selang di tangannya. Gadis itu meringis kecil ketika jarum infus pelan-pelan ditarik keluar. Setitik darah menetes dan tanpa sadar ia menahan napas saat melihatnya. Bagai diingatkan dengan luka lama, bayangan darah ibunya menggenangi lantai terngiang jelas. Tubuhnya mendadak gemetar.

"Lho, Mbak Vivian nggak apa-apa?"

Vivi tersentak saat sang suster memanggil. Ia terpaksa memeluk lengannya erat-erat untuk menyembunyikan tremor yang melanda. "Saya nggak apa-apa," ujarnya pelan sambil kembali merebah. Sekujur tubuhnya lemas. Ingatan ketika ia menemukan jasad ibunya yang berlumuran darah seolah-olah menyedot habis tenanganya.

"Oh, ya sudah kalau Mbak sudah nggak apa-apa. Saya permisi dulu."

Vivi mengangguk saat sang suster keluar ruangan. Vivi lantas memalingkan wajah menatap jendela. Air mata merembes tanpa sadar.


=========

a/n: Kalian sadar tidak kalau akhir-akhir ini saya sukanya posting cerita bab sepotong-sepotong? :"D Entah kenapa semangat saya berkurang perlahan. Bagaimana caranya mengembalikan semangat? Istirahat sebentar mungkin, ya?

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang