#22 - Hujan Badai (1)

1.2K 212 8
                                    

Seumur hidup, sudah tiga kali ia merasa hidupnya sungguh payah dan tak berguna. Orang tuanya mati demi dirinya. Sekarang Dharmaja pun pasti tengah berjuang hidup setelah berusaha menyelamatkannya. Angreni tergugu dalam keadaan tangan dan kaki terikat serta mata yang ditutup kain hitam. Ia ingin bertemu Dharmaja untuk memastikan lelaki itu baik-baik saja.

Pedati yang membawanya tiba-tiba berhenti, kemudian disusul dengan teriakan Pu Watabwang. "Malam ini, kita akan menginap di sini. Sebentar lagi badai dan perjalanan ke Bandar Lor* akan sangat berbahaya karena jalan yang akan kita lewati rawan longsor dan banjir bandang."

Memang benar, bau hujan sudah tercium dan gemuruh dari langit juga telah terdengar; pertanda sebentar lagi akan terjadi hujan badai.

Pu Watabwang berseru lagi, "Periksa keadaan bocah itu. Jangan sampai dia mati."

Seseorang naik ke pedati lalu menjulurkan tangannya ke depan hidungnya. Demi mengelabui mereka, Angreni berpura-pura masih tak sadarkan diri.

"Dia masih bernapas, Tuan!"

"Bagus. Sekarang bawa dia ke dalam."

Angreni berusaha untuk tak membuat pergerakan kala seseorang membopongnya. Ia hampir saja mengumpat saat dirinya dilempar begitu saja seperti bongkahan kayu ke atas dipan. Desisan kecil tak sengaja lolos ketika lukanya bergesekan dengan ujung tilam yang berlubang.

Beruntung, karena kejadian itu penutup matanya mengendur. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mengintip keadaan. Kamar yang ditempatinya sungguh menyedihkan; kayu penyangga rumah reyot dimakan rayap dan ada beberapa lubang di atap hingga ia bisa melihat langsung kilat serta langit malam yang memerah. Ia sendiri tak yakin dirinya bisa selamat dari hujan badai. Bisa saja ketika pagi dirinya sudah mati karena tertimpa atap yang rubuh.

"Raka, kau yakin bocah itu masih tak sadarkan diri?"

Sekujur tubuh Angreni menggigil menahan amarah. Itu suara wli wasya yang pernah menculiknya! Kalau bukan karena lelaki itu, mungkin ibunya masih hidup dan bersama dirinya sekarang.

"Ya. Aku sudah menekan titik syarafnya. Aku yakin dia baru akan sadar besok."

"Lalu, apa yang akan kita lakukan dengannya? Menjualnya lagi?"

"Tidak."

"Kenapa? Apa kau berniat menjadikannya budak? Kudengar kau kekurangan pekerja."

"Bocah sialan itu memang telah menghabiskan sebagian hartaku untuk ganti rugi. Dan karena itu aku berniat menjadikannya jalir di Bandar Lor. Lagipula, apa kau lupa jika aku telah menemukan beberapa budak dengan keahlian layaknya mangrumbi*? Awalnya aku curiga mereka adalah murid dari salah seorang Empu terkenal, tapi sepertinya itu tak mungkin mengingat mereka hanyalah orang-orang nomaden miskin."

Dijadikan jalir? Ia lebih baik mati jika diharuskan menjual diri. Usahanya untuk melepaskan tali yang mengikatnya makin kuat, tak peduli jika hal itu membuat luka-luka baret tercetak di pergelangan tangannya.

Tak lama, suara Pu Watabwang dan adiknya terdengar menjauh. Sebelum pergi ia memerintahkan dua anak buahnya untuk berjaga di depan pintu. Angreni bersyukur karena hanya dua orang. Kalau lebih dari itu kesempatannya untuk melarikan diri sudah bisa dipastikan tidak ada.

Gadis kecil itu beringsut turun, tapi di tengah perjalanan petir tiba-tiba menyambar yang diikuti dengan turunnya hujan. Tubuhnya seketika menegang dan tak bisa digerakkan. Dulu, jika mendengar petir ia akan langsung bersembunyi di dalam pelukan ibunya. Namun sekarang, ia tak punya tempat berlindung.

Angreni menggeleng, berusaha menghalau rasa takutnya. Ia tak boleh kalah di sini. Maka, dengan segala keberanian yang tersisa, ia bergerak lagi. Sayangnya, belum sempat kakinya menyentuh tanah. Kain yang melilit tungkainya tersangkut sesuatu. Ketika mengecek, ia menemukan retakan besar pada dipan. Seperti mendapatkan berkah dewa, mendadak Angreni mendapatkan ilham. Ia mulai menekan-nekan retakan itu dengan sekuat tenaga sambil berusaha menimbulkan suara seminim mungkin.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang