#14 - Selubung Kabut (2)

1.9K 334 13
                                    


Setelah membayar seluruh biaya administrasi, Vivi langsung meminta untuk pulang. Ketika ia hendak berjalan keluar, berkali-kali Dimas menawarkan diri untuk membantunya, tapi berkali-kali pula Vivi menolak. Gadis itu bahkan sampai mengumpat, karena sungguh, Dimas benar-benar orang yang keras kepala.

"Jadi, untuk apa kamu mau ketemu saya?"

Dimas mengetuk-ngetuk setir mobil. Wajahnya terlihat resah. Vivi yang sudah jengah akhirnya memutuskan untuk membuka pintu mobil tanpa pemberitahuan. Dimas yang melihat itu pun buru-buru meraih tangannya. "Vivian, kamu mau ke mana?"

"Kalau kamu nggak mau ngomong juga, mending saya pulang. Terima kasih karena kamu udah mau bantuin saya. Berapa nomor rekening kamu, biar semua biaya berobat saya transfer kalau saya udah gajian," jelas Vivi sambil mengambil buku catatan serta pulpennya. Namun, Dimas dengan cepat mencegah.

"Saya ikhlas bantu kamu tadi, Vivian."

Vivi tertawa mengejek. "Saya kira, nggak ada yang gratis di dunia ini, bener begitu? Jadi, jujur aja, apa yang kamu ingikan dari saya? Apa kamu masih mau jadiin saya istri, hm?"

Dimas mengusap kasar wajahnya. Entah bagaimana ia bisa menghadapi mulut tajam gadis ini. "Saya bener-bener ikhlas nolong kamu, Vivian."

Vivi mendengkus geli. "Sudah ngomongnya? Kalau kamu bener-bener ikhlas nolong saya, izinkan saya pulang sekarang." Gadis itu lagi-lagi berusaha untuk membuka pintu mobil, tetapi sayangnya Dimas lebih cepat. Lelaki itu langsung mengaktifkan autolock agar Vivi tak bisa ke mana-mana.

"Vivian, dengar." Dimas menghela napas berat sebelum menjelaskan hal yang mengganjal di hatinya. "Ada satu hal kenapa saya bersikap kurang ajar kemarin sama kamu. Tapi, kamu harus janji kamu nggak boleh potong penjelasan saya."

"Ya. Saya bakal dengerin tapi kamu cuma punya waktu sepuluh menit."

Dimas menerawang jauh, seakan-akan ia tengah menembus sekat pemisah ruang dan waktu. "Kamu percaya sama makhluk halus?"

Vivi menatap lelaki itu dengan dahi berkerut. Ia tetap diam untuk menepati janjinya tadi.

"Saya melihat sesuatu di belakangmu kemarin. Saya nggak tahu makhluk apa itu, tapi yang pasti, dia tiba-tiba muncul di sana dan menghilang gitu aja."

Vivi terdiam sebentar lalau tanpa diduga tawa gelinya mengalun. Dimas sedikit tersinggung ketika melihat raut wajah meremehkan gadis itu.

"Kamu mungkin nggak percaya kalau saya bilang saya bisa melihat makhluk-makhluk seperti itu, kan?" Ekspresi Dimas seketika mengeras.

"Ya. Saya memang nggak percaya," balas Vivi dengan wajah menantang. Meski begitu, di dalam hatinya tadi sempat terbersit perasaan was-was. Apakah makhluk yang mengkutinya adalah hantu yang ia temui di atas bukit pantai?

"Terserah kamu mau percaya atau enggak!" tanpa sadar suara Dima meninggi. Vivi yang mendengarnya pun terlonjak tapi dengan cepat gadis itu mampu menguasai dirinya lagi.

Vivi tersenyum miring. "Oke, kalau benar yang kamu bilang tadi, kalau ada sesuatu di belakang saya. Apa sekarang makhluk itu ada di sini? Di mobil ini?" Ia pun menolehkan kepalanya ke belakang. "Hei, kau makhluk tak terlihat, keluar sekarang. Saya mau lihat kamu. Kalau kamu mau, kamu bisa bawa saya ke tempatmu."

"Vivian, kamu apa-apaan?!" seru Dimas cemas. Ia tak menyangka bahwa gadis itu benar-benar nekat. Tak tahukah ia bahwa hal-hal semacam itu sangat tabu?

"See ... nggak ada, kan?" Vivi bersedekap dengan angkuh. "Jadi apa saya harus percaya sama omonganmu itu, hm?"

Dimas seketika kehilangan kata-kata.

"For your information, saya memang percaya bahwa mereka ada. Tapi, saya bukan orang yang bisa dengan mudah ketakutan dengan hal remeh seperti itu. Karena ..." Vivi sengaja memotong kalimatnya untuk melihat reaksi Dimas. "Karena saya sudah pernah melihat dan mengalami hal yang lebih buruk dari pada itu."

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now