#28 - Percayai Apa yang Tak Terlihat (2)

869 180 2
                                    

Angreni tak mengerti. Ada yang salah dengan dirinya. Semakin hari, perasaannya makin tak keruan saat melihat Rawisrengga. Awalnya ia hanya kagum akan kelihaiannya menari, bermain alat musik, dan bersajak; semua keterampilan seni yang Rawisrengga miliki seolah-olah membuatnya seperti penggambaran paling sempurna dari Sang Hyang Wisnu. Namun, kini rasa itu berubah menjadi sesuatu yang membuat hatinya kacau.

Sementara itu, Unengan yang sedari tadi mengamati tingkah Angreni tertawa kecil.

"Apa ada yang lucu?" Angreni bertanya bingung. Dari tadi hal yang dilakukan mereka hanyalah memisahkan beras dengan sisa-sisa gabah. Tak ada yang sedang melawak di sini.

Unengan menggeleng. "Tidak ada. Ayo, istirahat sebentar," ajaknya sambil mengambil tampah besar dari tangan Angreni lalu meletakkannya di atas meja kayu.

Bagian belakang rumah yang mereka tempati ini berhadapan langsung dengan kebun. Meski rumah ini tak ditempati selama bertahun-tahun, Nawarsa masih tetap merawatnya.

Unengan menuangkan air untuk Angreni, lalu menyerahkan gelas yang telah penuh itu kepada Angreni. "Sebenarnya, ada yang ingin kutanyakan padamu."

"Apa itu?" kata Angreni setelah ia menghabiskan setengah dari isi gelas.

Unengan menimbang-nimbang sebentar pertanyaan mana yang harus ia utarakan. "Bagaimana rasanya hidup berpindah-pindah?" tanyanya setelah beberapa waktu ia terdiam. Ia memang sudah tahu beberapa hal tentang Angreni seperti bagaimana ia bisa pingsan di jembatan, lalu hubungannya dengan orang-orang yang pernah menculiknya, serta bagaimana awal hubungannya dengan kakaknya, Nilaprabangsa.

Angreni tertawa. "Tidak ada yang bisa kuceritakan karena memang hidup berpindah itu sangat tidak enak. Tiap waktu kau harus berhadapan dengan marabahaya seperti para penculik yang ingin menjadikanmu budak belian."

"Tapi kau bisa pergi ke berbagai tempat, kan?" sela Unengan.

"Memang. Tapi menurutku memiliki sebuah tempat untuk pulang lebih bagus."

Unengan terdiam. Dalam hati ia setuju dengan yang dikatakan Angreni. Setelah beberapa saat bergeming, ia melirik ke arah Angreni yang tengah menikmati angin yang bertiup lembut. Helaian rambutnya terurai hingga luka bakar yang berada di pundak kanannya mengintip. Karena penasaran, Unengan menyentuh luka itu sampai membuat Angreni terlonjak.

"Kau membuatku kaget, Unengan."

"Apa masih sakit?"

Angreni memandang tak mengerti, tapi ia baru paham saat melihat arah pandangan Unengan tertuju pada punggungnya. Ia pun menggeleng. "Aku mendapatkan luka ini saat masih kecil, jadi tentu sudah tidak sakit lagi."

Unengan terlihat sangsi sebab luka di pundak Angreni terlihat ... agak mengerikan. Warnanya merah muda seperti daging segar dengan titik-titik putih yang tersebar acak. "Bagaimana kau bisa mendapatkan luka itu?"

Angreni terlihat ragu saat ingin menjawab pertanyaan Unengan. Pasalnya, ia mendapatkan luka ini bukan karena kecelakaan, melainkan ulah ibunya yang ingin menghilangkan rajah di pundak kanannya.

Seluruh orang di kelompoknya dulu memiliki tato di tempat-tempat tertentu, dengan tujuan sebagai penanda bagian dari kelompok. Tempat rajah yang ada di tubuh ditentukan melalui mimpi atau ramalan orang-orang yang dituakan di keluarganya—mereka menyebut hal itu sebagai perintah leluhur. Ia sendiri mendapatkan rajah di pundak kanan setelah salah seorang tetua bermimpi melihat dirinya membawa gunung di pundaknya.

Ia tak mengerti mengapa ibunya berniat untuk menghapus tato itu dari tubuhnya tepat setelah kematian ayahnya. Padahal dengan adanya tato itu ia bisa mencari keberadaan keluarganya yang tercerai-berai akibat letusan gunung beberapa tahun lalu.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now