#30 - Hati yang Tertaut (1)

946 192 19
                                    

Sudah beberapa hari Nabila menginap di rumahnya. Vivi sebenarnya tak mau mengakui, tapi berkat kehadiran Nabila semua terasa lebih baik. Selama beberapa hari belakangan bocah itu bertindak selayaknya asisten pribadi. Ia mengatur makannya, pakaiannya, bahkan sampai ke urusan membersihkan rumah. Dengan keberadaan Nabila pula masalah-masalah yang menimpanya seolah-olah menguap. Kepalanya ringan karena tak perlu memikirkan kematian Dimas atau hal-hal sinting yang menimpanya beberapa waktu belakangan. Ya, anggap saja perjumpaan dirinya dengan makhluk gaib di atas bukit serta penglihatan-penglihatan ganjil yang seenaknya datang itu tak pernah terjadi. Cuma halusinasi, karena dirinya terlalu lelah menghadapi masalah yang datang bertubi-tubi.

Kini, masalahnya hanya tinggal satu; Tante Dinar. Setelah pertemuan terkahir di rumah sakit tempat Dimas dirawat, bibinya itu tak pernah menghubunginya lagi. Well, baguslah.

"Neng Vivian, beneran mau ke pasar sendiri? Nggak mau dianterin sama Mas Galih aja? Nabila bisa berangkat sendiri, kok!"

Kening Vivi mengerenyit. Sudah lima kali bocah perempuan itu menanyakan hal yang sama, yang tentu akan dijawab dengan kalimat yang sama pula olehnya.

"Udah. Kamu aja yang berangkat bareng Galih. Biar saya naik angkutan umum."

Nabil mengerutkan bibirnya. Di saat yang bersamaan, Galih datang dengan sepeda motornya. Pemuda itu melambai sambil tersenyum lebar.

Ada satu hal lain yang Vivi sadari. Selain hidupnya yang membaik, akhir-akhir ini wajah Galih selalu terlihat berseri. Sejujurnya ia tak ingin menjadi orang culas, tapi ia merasa sangat terganggu dengan aura kebahagiaan yang menguar dari sekujur badan Galih.

"Ayo, Nabil, kita berangkat."

Nabila tampak ragu.

"Nabil, kenapa? Ayo berangkat nanti kamu sama Mas bisa telat."

Nabila menghela napas panjang dan mengangguk. Ia berpamitan sekali lagi kepada Vivi sebelum naik ke motor Galih.

Setelah motor yang membawa keduanya menghilang, Vivi berbalik ke rumah untuk bersiap sebelum ke pasar. Gadis itu mendengkus geli. Jadi, ada alasan konyol mengapa ia harus repot-repot membuang jatah liburnya hanya untuk melakukan hal yang seumur hidup belum pernah ia lakukan—berbelanja ke pasar tradisional dan memasak di dapur dengan peralatan seadanya, yang jelas jauh di bawah dibandingkan dapur modern di rumahnya dulu.

Kemarin, sebelum terlelap, ia tiba-tiba berkata ingin mencicipi tangyuan buatan rumah. Nabila yang mendengarnya pun memandang bingung karena ini pertama kalinya ia mendengar nama makanan itu. Vivi terkekeh kecil dan menjelaskan kalau tangyuan sama dengan wedang ronde. Nabila melongo dan sekejap kemudian buru-buru menelpon bibinya. Namun, sebelum panggilan itu tersambung, Vivi sudah lebih dulu mematikannya sambil mendelik.

Nabila meminta maaf sambil mencicit. Ia bingung. Niatnya hanya ingin meminta bibinya untuk membuatkan apa yang diinginkan Vivi, tapi kenapa dia malah dimarahi?

Melihat ekspresi Nabila, Vivi menghela napas lalu balik meminta maaf. Ia pun menjelaskan jika ia ingin membuat tangyuan sendiri dengan resep turun-temurun yang diajarkan ayahnya. Nabila mengangguk-angguk, meski ia masih tak mengerti kenapa Vivi mau repot-repot masak sendiri jika ada Mbok Sum yang bisa membuatkannya. Toh, bibinya itu pernah bekerja sebagai asisten rumah tangga Vivi selama bertahun-tahun, ia pasti sudah hapal dengan resep itu, bukan?

.

.

.

Galih tiba di tempat kerja setelah mengantarkan Nabila ke sekolah. Karena Vivi tengah libur dan ia juga mendapatkan jadwal masuk kerja siang hari, jadilah selama seminggu ini ia berangkat bersama Nabila. Galih tak keberatan karena memang dulu sebelum Vivi bekerja, ia dan adik sepupunya itu selalu berangkat bersama.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang