#27 - Di Antara (2)

927 194 7
                                    

Dharmaja melirik ke sisi kiri. Angreni sudah tidak ada. Ia teringat jika di sisi timur pondok ini terdapat sungai kecil dengan arus tak begitu deras. Angreni pasti ke sana. Ia memang sudah tahu dengan kebiasaan Angreni setelah menginjakan kaki di padepokan seni Nawarsa, yaitu pergi tengah malam ke sungai untuk berlatih tari. Selagi ia berbuat sesuatu yang tak membahayakan diri sendiri, ia tentu tak akan mengusik kesenangan bocah itu.

Ia kembali menelentangkan tubuh. Namun, tiba-tiba ia terperanjat dan bergegas bangun ketika terdengar ribut-ribut dari luar. Ia mendelik marah ketika tahu apa yang tengah terjadi. Sebelum Miruda menyadari kedatangannya, Dharmaja sudah lebih dulu menampar tangan Miruda lalu membanting tubuhnya ke lantai yang dingin. Di saat yang sama, Rawisrengga keluar kamar sambil menyalakan lampu damar.

"Bisakah kalian berdua berhenti bertengkar? Kalian bisa membangunkan ibu dan Unengan." Rawisrengga berkata seraya membantu Miruda berdiri setelah Dharmaja melepaskannya.

"Ayo kembali ke kamar, Angreni." Dharmaja meraih lengan Angreni lalu menyeretnya, agak kasar, tapi Angreni tak keberatan. Ketika melewati Rawisrengga, pandangan keduanya tak sengaja bertemu. Mereka hampir saja tenggelam ke dalam refleksi satu sama lain jika saja Dharmaja tak mengeratkan pegangannya. Angreni yang tersadar langsung merunduk dan mengikuti Dharmaja dalam diam.

Setelah Angreni dan Dharmaja menghilang di balik pintu kamar, Rawisrengga beralih pada Miruda. "Aku tak akan bertanya apa yang terjadi barusan. Tapi, apa kau bisa berjanji padaku untuk menjaga sikap? Kita tak akan bisa menang jika kita tak bisa bersatu."

Miruda menatap kakaknya dengan pandangan tegas. "Aku tak bisa menjanjikan itu padamu, Raka."

Rawisrengga menghela napas berat. "Jika Kau tidak bisa berjanji untukku, maka berjanjilah demi ayah. Kau bisa, Kan?"

Miruda terdiam.

.

.

.

Keesokan harinya Angreni menghabiskan waktu di sungai untuk mencuci. Meski Dharmaja dan ibunda Rawisrengga telah melarang, ia tetap bersikukuh untuk mencuci semua pakaian kotor seorang diri. Rongga yang tak enak hati akhirnya menawarkan diri untuk membantu.

"Semalam, aku dengar ribut-ribut dari dalam rumah. Kau tidak apa-apa, Angreni?" tanya Rongga ketika keduanya hampir menyelesaikan tugas mencuci.

Angreni menggeleng. Keduanya kemudian terdiam cukup lama sampai Angreni tiba-tiba berkata. "Pagi-pagi sekali aku melihat-lihat keadaan sekitar sini, jika kau berjalan terus ke arah hulu sungai ini, kau akan menemukan sebuah air terjun kecil. Kau sudah pernah melihatnya?"

"Tidak. Di sana berbahaya, Angreni. Banyak binatang buas. Jangan pergi ke sana lagi tanpa ditemani siapa pun, kau mengerti?" Rongga membawa keranjang penuh cucian yang siap dijemurnya. Tadinya Angreni ingin membagi sebagian isi dari keranjang bambu itu tapi Rongga menolak sambil berkelakar; ia mungkin akan dihajar Dharmaja jika ia membiarkan Angreni membawa keranjang yang berat.

Rongga meninggalkan sungai terlebih dulu, karena Angreni bilang ia ingin mandi sebentar dan Rongga menurutinya tanpa banyak tanya.

Ada satu hal yang tak diketahui Rongga. Angreni berbohong. Setelah sosok Rongga tak bisa lagi ditangkap matanya, ia memutuskan untuk pergi. Dirinya tersenyum puas saat tiba di sana. Air terjun ini tersembunyi di balik tebing bebatuan dan bukit-bukit kecil yang mudah longsor.

Tanpa buang waktu ia langsung mencelupkan kaki ke air. Rasa dingin langsung menjalar hingga ubun-ubun, tapi ia menyukainya. Ia lalu berjalan ke tengah. Ternyata tak terlalu dalam. Selama beberapa saat Angreni bermain air dan tak peduli jika kain yang membungkus tubuhnya telah basah kuyup sepenuhnya.

Selang beberapa lama, Angreni naik ke sebuah batu besar yang ujungnya menjorok ke air. Di atas batu itu ia duduk sambil menikmati pemandangan. Dahan-dahan pohon yang tumbuh tampak seperti pagar ditambah rumput dan tanaman perdu yang menyerupai tilam yang menyelimuti bumi. Cantik. Suara air terjun yang jatuh membentur bebatuan di bawahnya seperti alunan musik di telinganya. Rasanya damai dan tenang. Karena terlalu larut dengan lamunan, Angreni menggerakkan tubuhnya secara tak sadar. Meliuk-liuk indah, meniru tiap gerakan tari yang sering ia lihat di padepokan seni Nawarsa dengan mata yang terpejam.

"Tarianmu indah."

Angreni terlonjak. Ia memutar tubuhnya dengan cepat. Sayangnya, permukaan batu itu begitu licin. Ia nyaris saja terjatuh jika seseorang di hadapannya kini tak menangkap tubuh mungilnya.

"Wah, hampir saja."

Angreni cepat-cepat melepaskan diri dari rengkuhan orang itu. "Maafkan aku, Rakamas Rawisrengga," ucapnya gugup.

Rawisrengga tersenyum geli. "Kenapa kau meminta maaf? Harusnya aku yang meminta maaf karena telah mengganggumu."

"Kau tidak mengangguku sama sekali," ucapnya sambil menunduk. Angreni bukannya takut akan sosok Rawisrengga, ia hanya merasa segan. Berbeda dengan Miruda yang menunjukkan kuasanya dengan kekerasan, Rawisrengga menunjukkannya dengan cara mengayomi tapi tetap memiliki ketegasan yang membuatnya begitu dihormati. Budi luhurnya tentu tak perlu diragukan lagi.

Rawisrengga tertawa kecil. "Baiklah jika aku tidak mengganggumu." Ia memilih untuk duduk bersila di sebelah Angreni, membuat Angreni mau tak mau ikut bersimpuh di sampingnya.

"Sejak kau menyelamatkan Unengan tempo hari, aku belum berkesempatan untuk berterima kasih padamu." Rawisrengga menoleh dan menatap Angreni lekat-lekat. "Terima kasih. Berkat dirimu, adikku bisa selamat."

Angreni menunduk sedih. "Tapi berkat diriku juga kalian mendapatkan masalah sehingga harus bersembunyi di tempat ini," ucapnya merasa bersalah.

Tak adanya kata yang keluar dari mulut Rawisrengga membuat Angreni was-was. Ia makin menunduk hingga rambutnya yang basah jatuh dan menutupi sisi wajahnya.

"Angreni," panggil Rawisrengga.

Angreni mendongak. Jantungnya nyaris berhenti berdetak ketika Rawisrengga menyelipkan anak-anak rambutnya ke balik telinga. Perasaan asing apa ini? Rasanya menyenangkan tapi membuatnya gelisah di saat bersamaan. Dadanya berdegup kencang hingga membuatnya tak nyaman.

"Apa kau suka menari, Angreni?" tanya Rawisrengga lagi.

Angreni tak berani menatap Rawisrengga. Dengan gugup ia mengangguk.

"Kau ini suka sekali menari di dekat aliran air, ya. Sewaktu di padepokan milik paman Nawarsa pun kau sering sekali berlatih malam-malam di samping sungai, kan?"

Angreni terperanjat. "Kau tahu?"

Rawisrengga tertawa. Maksudnya bukan untuk mengejek, dia hanya suka dengan reaksi yang ditunjukkan Angreni. "Tenang saja. Aku tidak akan bilang ke siapa pun. Kau berlatih sembunyi-sembunyi, itu artinya kau tak ingin orang melihatmu, kan?"

"Ya," cicit Angreni. Wajahnya memerah karena malu.

"Apa boleh aku melihatmu menari?"

Angreni menatap Rawisrengga tak percaya. "Kenapa?"

"Aku suka tarianmu. Apa aku tidak boleh melihatnya?"

"Bukan begitu. Aku ... hanya ..." Angreni terlihat begitu kesusahan mencari kata-kata dan Rawisrengga menunggunya dengan sabar. "Aku malu," ucapnya setelah sekian waktu mereka berdua dilanda kesunyian.

Lagi, Rawisrengga terkekeh. "Kenapa harus malu? Kau berbakat. Bahkan hanya dalam sekali melihat kau sudah hapal dengan semua gerakan. Saat ini aku tak bisa menjanjikan apa-apa padamu, tapi, aku ingin sekali melihatmu menari di tempat semestinya. Bukan diam-diam seperti ini agar semua orang tahu betapa indahnya tarianmu itu, Angreni."

Angreni tak bisa membalas ucapan Rawisrengga barusan. Yang ia lakukan hanya mendunduk dengan pipi bersemu cantik. "Terima kasih," lirihnya yang nyaris tak terdengar.

Rawisrengga tersenyum lalu mendongak, menikmati pemandangan air terjun yang tersuguh di hadapannya. "Tidak perlu sungkan. Aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Sosokmu mengingatkanku pada Unengan," katanya sambil membelai kepala Angreni.

Saat itu juga, entah mengapa Angreni merasakan sakit yang menusuk dadanya.

Di lain sisi, tanpa mereka berdua sadari, Miruda yang telah memperhatikan interaksi keduanya dari awal dengan ekspresi keras.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanDär berättelser lever. Upptäck nu