#31 - Perempuan Berkalung Rahasia (2)

994 181 39
                                    

Selama ia bekerja dengan Bunda, ini kali pertama baginya melihat pasien Bunda yang lari tunggang langgang meninggalkan kamar praktik. Tiap orang yang kemari punya tujuan masing-masing, dan kebanyakan dari mereka datang untuk meminta berkah dan kesembuhan. Apakah orang yang tadi gagal disembuhkan? Atau adakah sesuatu yang serius terjadi di dalam?

"Mat, Rahmat." Bunda memanggil dengan suara putus-putus.

Pemuda kurus itu tergopoh-gopoh mendatangi ruangan Bunda. Di sana, ia menyaksikan si perempuan yang menggendong buntalan sudah kembali seperti sedia kala, dalam artian ia kembali ke dirinya yang biasa; memainkan buntalan di dekapannya seolah ia tengah bercandan dengan bayi. Seingatnya beberapa saat lalu perempuan itu meraung-raung dengan mata terpejam. Entah gambaran apa yang ada di kepalanya. Di sampingnya, wanita paruh baya yang ia kenal sebagai ibu kandung si perempuan tengah berbicara dengan Bunda. Lalu, Bunda memberikan satu botol plastik berisi air yang sudah diberi jampi-jampi padanya.

"Mat, tolong antarkan mereka ke gerbang. Lalu bilang pada pasien lain buat tunggu. Saya mau istirahat sebentar."

Pemuda kurus itu mengangguk dan dengan sigap menjalankan titah Bunda. Selama perjalanan, ia beberapa kali memandangi si perempuan.

Kalau dilihat, perempuan itu sebenarnya lumayan cantik, tapi sayang tidak waras. Dari cerita Bunda, semua bermula ketika ia berkali-kali mengalami keguguran. Di kehamilannya yang terakhir, ia kehilangan anaknya yang baru saja dilahirkan. Sudah terhitung lima kali ibunya membawa perempuan itu untuk berobat kepada Bunda. Namun, sampai sekarang perempuan itu belum menunjukkan tanda-tanda kesembuhan. Biasanya, pasien-pasien Bunda hanya dengan tiga kali datang sudah bisa sehat kembali.

Usai menjalankan perintah Bunda, pemuda itu cepat-cepat kembali ke ruang praktik. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa was-was.

"Bunda, Rahmat masuk, boleh?" tanya pemuda itu sambil mengetuk pintu. Hampir semenit menunggu, tak ada jawaban. Ia mulai gelisah.

"Bunda." Pintu kembali diketuk. Di saat yang sama, terdengar bunyi benda-benda berjatuhan dari dalam kamar, lalu disusul suara terbatuk-batuk dengan napas tercekik. Si pemuda meraih gagang pintu. Sial, terkunci. Jalan keluar yang terpikirkan olehnya hanyalah dengan mendobraknya.

Percobaan pertama ia gagal. Nyeri menjalar di sekujur pundak dan bahu. Percobaan ketiga, bahunya mulai mati rasa. Untungnya, ia berhasil di percobaan kelima. Matanya terbelalak, kakinya gemetar melihat Bunda berkali-kali memuntahkan darah di depan meja kerja. Gumpalan merah-hitam pekat itu menyebar di mana-mana. Bau anyir menyeruak bersama dengan energi jahat yang membuat paru-parunya kesulitan memompa udara.

Ia ingin lari dan berteriak untuk meminta pertolongan. Namun, ia tak bisa melakukannya. Reputasi Bunda akan berada di ujung tanduk jika ia melakukan itu.

"Mat ..." Bunda menoleh. Mulut dan hidungnya banjir darah. Wanita itu nyaris ambruk, tapi untung si pemuda dapat dengan cepat menangkapnya. Ia lalu membaringkan tubuh lemah Bunda di atas dipan di ruang praktik itu.

Dengan kondisi Bunda yang tak mungkin lagi menerima pasien, si pemuda kurus terpaksa menutup klinik sebelum waktunya.

"Bunda." Panggilannya sehalus angin, bahkan hampir tak terdengar. Dengan tangan gemetar ia menyeka noda-noda darah di wajah Bunda.

Sudah hampir setengah jam Bunda belum juga siuman. Tiap menit si pemuda kurus terus mengecek apakah Bunda masih bernapas. Dalam hati ia juga tak berhenti memanjatkan doa kepada Yang Kuasa agar Bunda segera sadar.

Kala si pemuda hendak mengembalikan baskom berisi air kotor, Bunda akhirnya membuka mata. Wanita itu terbatuk-batuk karena gumpalan darah yang masih tersangkut di tenggorokan. Pemuda itu bergegas memberikan air minum.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang