#16 - Kebenaran Tak Akan Pernah Pudar (3)

1.4K 260 6
                                    

Rasanya, seperti baru kemarin ia mengantarkan jenazah ibunya ke tempat peristirahatan terakhirnya sambil meraung-raung, tetapi kini ia datang lagi tanpa isak tangis. Dengan ekspresi kosong ia menatap pusara sang ibu.

"Apa kabar, Ma?" Vivi berlutut, lalu mulai membersihkan nisan ibunya yang ternoda cipratan tanah dan sisa-sisa air hujan semalam. "Maaf karena Vivi nggak bisa kasih apa-apa di hari pernikahan kalian hari ini. Oh, ya, apa di sana Mama ketemu sama Papa?" Selama beberapa saat ia bergeming, seakan tengah menunggu jawaban dari ibunya.

Tiba-tiba saja Vivi tertawa, layaknya orang sinting ia memukul-mukul gundukan tanah basah yang mengubur jasad ibunya. Mustahil ibunya menjawab dari alam baka sana, dasar tolol! Dia jadi berpikir apa yang ibunya lakukan sekarang. Apakah ia sedang tersiksa atau malah tertawa karena akhirnya ia terlepas dari penderitaan. Ah, dia jadi iri.

Puas tertawa, Vivi lalu menelungkupkan tubuhnya di atas pusara sang ibu, membuatnya seolah ia sedang memeluk wanita itu. "Ma, kalau mama ketemu papa, tolong bilang Vivi minta maaf karena nggak bisa jenguk. Vivi nggak punya uang buat ke rumah abu* di Bandung." Gadis itu mengadu seperti anak kecil. "Oh, ya, hari ini kita mau pesta apa buat ulang tahun pernikahan kalian? Jangan bikin yang terlalu meriah, ya."

Dulu sekali, ketika kebahagiaan masih menyertai mereka, tiap tahun pasti akan diadakan pesta kecil-kecilan untuk memperingati ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya. Makan malam, berdansa, atau menonton film, mereka lakukan bertiga. Saat ia di luar negeri pun mereka masih sempat berpesta bersama. Bahkan tahun kemarin ia masih merayakannya walaupun hanya berdua saja dengan sang ibu. Akan tetapi, tahun ini ia harus merayakannya sendirian. Tanpa tawa ayahnya. Tanpa celotehan ibunya. Tanpa siapa-siapa.

"Ma, boleh Vivi tinggal di sini aja? Vivi nggak mau pulang." Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. Pandangannya mengabur karena air mata. Tak lama, tangisnya pecah.

Lelah menangis, Vivi kemudian bangkit. Setelah mengucapkan salam perpisahan pada ibunya, gadis itu pun melangkah keluar pemakaman. Setibanya di persimpangan, ia berhenti. Sejujurnya ia tidak ingin pulang ke kontrakannya yang dingin itu, tapi ia juga tak memiliki tempat bernaung lain.

Di tengah kebimbangan, tiba-tiba saja sosok hantu yang menghuni bukit pantai terlintas di benaknya. Kala mengingat wajah si hantu, Vivi merasa ada sesuatu yang mengganjal, membuat dadanya berdesir ganjil. Berbeda seperti kemarin, kali ini bukanlah bisikan mengakhiri hidup yang datang, melainkan dorongan kuat dari lubuk hati terdalam yang memerintahkannya untuk menemui hantu itu.

Vivi tahu, harusnya ia tak perlu mengikuti naluri konyolnya, tapi kakinya seolah-olah bergerak sendiri dan ia sendiri tak kuasa untuk mencegahnya.

.

.

.

Selama ratusan tahun menghuni bukit ini, salah satu kegiatan yang paling ia sukai adalah menghitungi kapal-kapal nelayan yang datang dan pergi silih berganti. Dulu, ia pernah berjanji pada Angreni untuk mengajak gadis itu berlayar mengarungi lautan dan singgah ke tiap negeri yang mereka datangi. Namun, janji itu tak pernah bisa terwujud karena Angreni sudah lebih dulu dilamar Rawisrengga.

Menjadi calon ratu tidaklah mudah. Banyak hal yang akan dipertaruhkan, bahkan nyawa sekalipun. Apalagi saat itu status Rawisrengga merupakan seorang pelarian. Sebagai seseorang istri, Angreni tentu harus mendukung penuh tiap langkah yang diambil oleh suaminya, meski jalan yang diambil penuh liku dan sangat berbahaya.

Suatu kali si hantu pernah bertanya mengapa Angreni menerima lamaran Rawisrengga. Alih-alih menjawab, gadis itu malah tersenyum. Melihat itu ia langsung mengerti karena kesungguhan, tekad, serta cinta yang terpancar kuat dari sorot mata Angreni telah menjelaskan semuanya. Ketidaksetujuan yang ingin ia muntahkan pun tertahan di tenggorokan.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang