#37 - Mimpi Panjang (1)

729 122 15
                                    

Vivi membenci pikirannya sendiri, apalagi ketika ia membayangkan skeneario terburuk mengenai lelaki bersetelah hitam itu.

Tidak mungkin.

Ia berjalan mundur hingga punggungnya membentur batang pohon trembesi. Dirinya masih berusaha menyangkal, tapi di otaknya berkelindan pikiran negatif yang tak bisa ia enyahkan. Jantungnya mendadak berdenyut-denyut tak teratur dan ia jadi kesulitan bernapas.

Itu ... tidak mungkin, kan?

Lelaki itu ... bukan manusia.

Dingin yang menggigit tiba-tiba merayap dengan cepat di sekujur badan. Telapak tangannya berkeringat dan gemetar. Ia terkesiap dan segera berbalik, menumpukan kepalanya yang pening dan seluruh berat badannya pada batang trembesi yang kasar. Vivi membungkuk sambil menutup mulut saat perutnya bergejolak. Organ-organ percernaannya seperti diaduk-aduk dan diremas. Cairan asam telah terkumpul di pangkal lidah.

Sial. Ia pasti tak akan sempat sampai di minimarket, meski ia harus berlari seperti orang kesetanan. Detik berikutnya, ia memuntahkan seluruh isi perutnya yang belum terisi siang ini. Cairan kekuningan menetes dari sudut bibirnya lalu jatuh mengotori tanah.

Seorang ibu pedagang sayur menghampiri dan menanyakan keadaannya. Sambil terengah-engah Vivi menjawab kalau dirinya tak apa-apa. Beberapa orang yang penasaran berkumpul, mengelilinginya sembari berbisik-bisik, dengungannya terdengar seperti sekelompok lalat yang mengerubungi tempat sampah.

Vivi mendesis. Ia amat membenci di situasi seperti ini.

Si ibu pedagang bertanya sekali lagi sambil mengelus-elus punggung Vivi. "Kamu yakin ndak apa-apa?"

Vivi menggeleng pelan, lalu muntah kembali. Sebelah tangannya kemudian terangkat dan menunjuk kerumunan orang yang tengah menontonnya.

Paham dengan isyarat yang diberikan Vivi, si ibu pedagang membubarkan kerumunan tanpa diminta. Ia lalu kembali kembali ke sisi Vivi. "Ibu belikan minum, ya, nduk."

Vivi melirik. Ia bahkan belum sempat membalas ucapannya, tapi ibu sudah lebih dulu bergegas menuju warung terdekat. Vivi terenyuh, tapi ia tak bisa berkata-kata. Dorongan kuat dari perutnya masih menguasai. Ia pun kembali muntah beberapa kali. Ia merosot, jatuh terduduk sambil berlinangan air mata.

Tidak. Ia tidak sedang bersedih. Air mata yang mengalir di pipinya hanyalah refleks tubuhnya. Ia justru kesal dan merasa sangat konyol.

Terjadi lagi. Apakah sekarang dirinya mampu mengundang makhluk-makhluk tak kasatmata? Melalui sudut matanya ia sempat mengintip ke posisi di mana lelaki bersetelan hitam tadi berada. Di sana masih tak ada tanda-tanda kehadirannya. Ah, persetan!

"Ayo, ayo, nduk diminum." Si ibu membukakan tutup botol untuk Vivi.

Vivi menyeka wajah dan menerima botol itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih," katanya sambil tersenyum. Ia kemudian mencuci mulut, berkumur, dan meminum air dari dalam botol sedikit.

Setelah beberapa menit mengumpulkan tenaga, sambil berpegangan dengan batang pohon trembesi dan dibantu si ibu penolong, Vivi bangkit. "Ibu, terima kasih banyak. Airnya berapa? Biar saya bayar."

Si ibu penolong memegang tangan Vivi yang hendak mengeluarkan uang dari saku celana. "Sudah, ndak apa-apa. Saya ikhlas nolong kamu. Kamu rumahnya di mana? Mari saya antar pulang."

"Saya masih harus kerja. Tempat kerja saya nggak jauh dari sini," ucapnya sambil menunjuk minimarket tempatnya bekerja.

"Betul begitu?" Si ibu masih tampak khawatir.

Vivi kembali tersenyum sambil menepuk-nepuk lengan si ibu. "Saya sudah nggak apa-apa. Sekali lagi, terima kasih, Bu," tukasnya. "Boleh saya tahu nama ibu? Ibu jualan di sekitar sini?

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang