#32 - Dendam yang Harus Dibayar (1)

957 170 26
                                    

Halo, sebelum melanjutkan cerita ini saya ada info, nih. Saya ingatkan sekali lagi ya. Cerita ini hanyalah fiksi yang mengambil latar era kerajaan Panjalu-Janggala. Beberapa memang ada fakta sejarah yang saya masukkan. Terima kasih sudah membacanya sampai sini. Semoga kalian tidak bosen dan bingung ya hahaha. Soalnya cerita ini emang bener-bener slow burn dengan alur maju mundur.

Btw, sebelum baca bab ini, saya sarankan kalian membaca bab 21 dan 22 dulu ya untuk menyegarkan ingatan. Sebab, bab ini adalah sambungan dari 2 bab tersebut. Kalau kalian masih inget sih ya nggak apa-apa haha.

Oh ya, saya mau bilang lagi. Kalian tahu aplikasi menulis Kwikku yang tahun lalu pernah ngadain kompetisi? Yang jurinya ada Dee dan penulis kawakan lain. Well, saya iseng ya masukin cerita ini dan menang jadi salah satu cerita favorit juri. Hehe.

=====

.

.

.

Meski telah ratusan tahun berlalu, tapi ia masih ingat bagaimana ia melihat sorot mata perempuan itu untuk pertama kali. Matanya tampak tenang, hitam, dan dalam. Mata seperti inilah yang ia takuti karena ia sama sekali tak bisa membaca apa yang terpancar dari jiwanya yang penuh misteri.

Pagi itu, di Desa Angin, di tengah khidmat upacara penetapan sima, perempuan itu berjalan setengah membungkuk sambil membawa persembahan bagi pejabat desa dan kerajaan. Sama seperti sahaya lain, wajahnya tanpa riasan, kulitnya sawo matang, kain yang membungkus tubuhnya begitu sederhana; khas pekerja kasar.

"Siapa pun yang melanggar ketentuan sima, mereka akan terkena ganjarannya. Seperti ayam yang telah mati, ia tak bisa hidup lagi. Seperti halnya telur yang remuk, ia tak akan bisa kembali. Seperti kayu yang terbakar api, ia akan menjadi abu yang akan hilang diterbangkan angin. Dengan inilah Yang Kuasa dan berkat para dewa menjaga tanah desa dan batas-batasnya." Sambil menyumpah, Sang Pamgat Makudur* yang menjadi pemimpin upacara memotong leher seekor ayam. Ia kemudian memecahkan sebutir telur di atas sanghyang watu sima dan kulumpang*, lalu menyiramnya dengan air suci.

Di akhir sumpahnya, Sang Pamgat Makudur menyembah sang lingga-yoni yang menjadi perwujudan Yang Kuasa dan para dewa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di akhir sumpahnya, Sang Pamgat Makudur menyembah sang lingga-yoni yang menjadi perwujudan Yang Kuasa dan para dewa. Segenap hadirin serta-merta mengikuti; tua, muda, lelaki, perempuan, kawula, pejabat desa dan kerajaan, bahkan sang putra mahkota dan Rakryan Kanuruhan yang menjadi pembawa perintah raja pun turut bersujud, menghaturkan sembah pada Yang Kuasa.

Desa Angin kini berubah status menjadi desa sima. Batu prasasti yang berisi segala bentuk anugerah raja dan peraturan sima kini telah terpancang sebagai pengingat bahwa para penarik pajak diharamkan memasuki desa ini selamanya, tak peduli sekali pun ia adalah maharaja yang bertakhta. Dalam prasasti itu juga sang maharaja, Sri Aryesywara memuji keberanian kawula desa yang telah berani menghalau musuh serta membantu merebut kembali kekuasaan dari Sri Sarwesywara.

Upacara telah selesai. Perempuan bermata misterius itu bersama sahaya lain meninggalkan tempat upacara dan menyisakan keresahan di hati. Akankah ia bisa bertemu lagi dengannya?

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang