#37 - Mimpi Panjang (8)

689 60 6
                                    

Selama beberapa hari ke belakang, Angreni baru menyadari satu hal; kehidupan layaknya angin, sangat sulit menebak ke mana arahnya melaju dan seberapa kencang embusannya. Hal ini persis yang ia alami. Padahal, belum lama dia merasakan gelegak amarah karena menyaksikan perbuatan tak senonoh Dharmaja. Namun, sekarang lihatlah, seisi padepokan bergembira menyambutnya pulang.

Malam itu, ketika dunia tengah bermandikan sinar bulan purnama, Angreni mendapatkan haid pertama. Berita ini menyebar dengan cepat. Istri Paman Nawarsa beserta beberapa murid perempuan bergegas membawanya ke pemandian untuk membersihkan diri sebelum dibawa menuju sanggar pamujan. Seorang pandita kemudian didatangkan guna memimpin puja untuknya dengan tujuan menghindarkannya dari hal buruk, sekaligus sebagai penanda bahwa prosesi inisiasi menstruasi pertama Angreni akan dilaksanakan.

Sesuai tradisi, selama tujuh hari anak gadis yang baru mendapatkan haid pertama akan dipingit di kamar khusus, pun begitu dengan Angreni yang harus tinggal sementara di kamar yang letaknya terpisah dari padepokan. Sepanjang malam, selama masa pengasingan, akan ada beberapa wanita dewasa—termasuk istri Paman Nawarsa—menemani sambil memberikannya ilmu rumah tangga serta petuah leluhur sebagai bekal hidup.

Selepas hari ketujuh, kala matahari baru beranjak naik, Angreni diboyong ke pemandian untuk mengikuti prosesi siraman. Sekembalinya dari pemandian, ia dikejutkan dengan tumpukan hadiah dari seisi padepokan di kamarnya. Angreni sangat tersentuh. Bagaimana mereka semua menyiapkan semua ini?

Istri Paman Nawarsa kemudian membantu Angreni bersimpuh di depan meja rias yang letaknya di samping dipan. Seketika fokus Angreni tertuju pada selendang brokat sutra merah muda yang terlipat manis di sebelah cermin tembaga bundar. Setitik air mata lolos tatkala menyentuh kain itu.

"Selendang itu adalah pemberian dariku dan suamiku. Apa kau menyukainya, Angreni?" tanya istri Paman Nawarsa yang saat itu tengah membantunya menyisir rambut.

Angreni mengangguk seraya mengusap air mata di pipi. "Cantik sekali. Bolehkah aku memakainya nanti?"

"Tentu, Anaku. Tentu," tukas istri Paman Nawarsa. Sambil tersenyum wanita itu mengambil sejumput rambut Angreni lalu menggelungnya ke atas dan menjepitnya dengan tusuk kayu. Sisa rambut yang tergerai di bawah ia sisir dengan tangan. Sejujurnya, memiliki anak perempuan adalah mimpi yang tak ingin dibaginya pada siapapun, termasuk pada sang suami. Dari dulu ia selalu mendambakan upacara menstruasi pertama anak yang dikandungnya sendiri. Akan tetapi, yang diharapkan tak kunjung datang. Khusus hari ini ia sangat gembira karena angan-angan terpendamnya bisa terkabul.

Seorang murid wanita yang ikut membantu dalam prosesi siraman menyerahkan selembar pakaian berwarna jingga lengkap dengan sabuk kain bersulam kepada istri Paman Nawarsa. Dibantu dua murid lain, mereka secara bertahap merias wajah Angreni, memasangkan hiasan bunga melati segar di rambutnya, dan terakhirnya memakaikan selendang brokat pemberian Paman Nawarsa beserta istri pada pundak kanan Angreni. Diperlakukan seperti ini, Angreni sungguh tak tahan ingin melihat hasil akhirnya. Akankah dirinya secantik putri-putri bangsawan?

Seolah bisa membaca pikiran Angreni, istri Paman Nawarsa pun memuji, "Kau sangat cantik. Lihatlah," ungkapnya sambil menggeser cermin bundar agar Angreni bisa melihat sendiri bagaimana cantiknya ia pagi itu.

Angreni tercenung memandangi pantulan dirinya di cermin. Ia seperti tengah berhadapan dengan orang asing? Siapa gadis cantik di hadapannya sekarang? Apakah itu benar-benar dirinya?

"Hari ini kau adalah pemeran utamanya, Anaku." Istri paman Nawarsa mengelus kepala Angreni. Sentuhan itu terus turun di sepanjang helaian rambutnya hingga berhenti pada bahu. Wanita itu pun menepuknya dua kali, menyadarkannya dari lamunan.

Angreni menatap wanita itu sekilas. Pandangannya mengabur karena air mata.

"Jangan menangis. Hari ini seharusnya kau hanya ada senyuman dan tawa bahagia." Istri Paman Nawarsa lantas mengusap lembut mata Angreni menggunakan kain halus agar air mata yang mengumpul keluar.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now