#31 - Perempuan Berkalung Rahasia (1)

923 184 13
                                    

Empat hari sebelumnya ....

Tante Dinar mengecek kembali tulisan yang tertera di ponselnya. Alamat yang ia tuju sudah benar, tapi pemandangan rumah di hadapannya rupanya jauh dari ekspetasi. Bentuknya sangat biasa—malah bisa dibilang sederhana. Pagar besi yang melindunginya agak sedikit berkarat dan tidak terlalu tinggi. Untuk luasnya sendiri mungkin tidak lebih dari empat puluh lima meter. Namun, ya, tak bisa dipungkiri jika rumah itu memiliki halaman depan yang cukup besar.

Tak ada hal-hal mistik di sekitar rumah dan sejauh ini ia tak merasakan perasaan ganjil, jadi ia bisa sedikit bernapas lega. Seumur-umur, pergi ke tempat-tempat seperti ini adalah pengalaman pertama. Dia takut. Sungguh. Tetapi demi keselamatan Vivi, keponakan yang dititipkan oleh adik tersayangnya, ia harus memberanikan diri.

Ia dulu memang sempat marah besar dengan adiknya yang pembangkang itu. Namun, biar bagaimana pun, darah lebih kental dibanding air. Mau seberapa buruk kelakuannya, ibunda Vivi tetap adiknya. Darah yang sama mengalir di pembuluh nadi mereka.

Mendiang Ibunya pun sudah memaafkan jauh sebelum adiknya jatuh terpuruk. Bahkan nama yang pertama kali disebut ibunya sebelum menghembuskan napas terakhir adalah nama sang adik. Sekarang, keluarga sedarah yang ia miliki hanyalah Vivi dan ia hanya ingin yang terbaik untuk keponakannya itu. Sejujurnya, ia tak peduli dengan beberapa kerabat-kerabatnya yang lain. Bagi Tante Dinar, mereka semua cuma benalu yang tak tahu malu.

Tante Dinar turun dari motornya lalu berjalan mendekati pagar. Ia mengetuk dua kali sambil mengintip sedikit ke dalam. Seorang pemuda kurus kemudian yang memperkenalkan diri sebagai pegawai pemilik rumah bertanya perihal kedatangannya. Ia lantas menunjukkan sebuah ruang percakapan kepada pemuda itu. Tak lama, pintu pagar yang membatasi mereka pun terbuka.

Motor yang dikendarai Tante Dinar melaju melewati pintu gerbang. Sesuai arahan pemuda tadi, setelah memasuki pekarangan depan, Tante Dinar berbelok ke halaman belakang yang disulap menjadi tempat parkir. Ada tiga mobil dan kurang lebih lima motor yang terparkir. Ia lalu diantar si pemuda ke sebuah ruang tunggu yang dibuat terpisah dengan rumah utama. Beberapa orang yang menunggu di sana dan salah satunya cukup menyita perhatian.

Perempuan muda yang kini duduk di seberangnya berpenampilan biasa. Dandanannya rapi dengan rambut panjang diikat ekor kuda, tapi kelakuannya agak ganjil. Dia sesekali bersenandung sambil berceloteh kecil dengan buntalan kain yang dogendongnya, seolah-olah ia tengah menidurkan bocah. Tante Dinar tidak tahu apa isi buntalan itu tapi ia yakin kalau isinya bukanlah bayi.

Di sebelahnya, wanita paruh baya duduk dengan wajah kecut. Dari tadi dia diam saja ketika si perempuan dengan buntalan mengajaknya bicara, kalaupun harus menanggapi, ia hanya akan menggeleng atau mengangguk dengan lelah.

Pemuda yang tadi memandu Tante Dinar masuk lagi ke ruangan dan memanggil si wanita paruh baya. Mereka, bersama dengan perempuan muda yang menggendong buntalan, pergi menuju rumah utama.

Sekarang, di ruangan itu hanya tinggal tiga pasien yang tak ingin Tante Dinar pedulikan. Hatinya masih ketar-ketir dengan jawaban dari orang pintar yang akan ia tanyai nanti.

Apakah Vivi baik-baik saja?

Atau memang ada 'sesuatu' yang menempel pada diri Vivi sehingga kemalangan selalu menghampiri keponakannya itu —seperti yang sering dikatakan oleh tetangganya. Mulai dari kasus yang menimpa adik iparnya hingga ia mati di bui, adiknya yang bunuh diri, ditambah sekarang kematian Dimas yang sangat tidak lazim, seakan-akan dewa kematian menghantuinya tiap saat.

Si pemuda pegawai datang lagi lalu memanggil Tante Dinar.

"Saya?" Tante Dinar menatap bingung. "Saya kan datang terakhir?" tanyanya sambil melirik tiga pasien lain—yang kelihatan agak jengkel karena antriannya diserobot.

"Perintahnya Bunda."

Bunda yang Tante Dinar ketahui adalah nama panggilan untuk si pemilik rumah.

"Oh, oke. Sik, sik." Tante Dinar menghampiri si pemuda dengan sedikit gentar.

Pemuda itu kemudian mengantarkannya sampai di ruang kerja Bunda. Selama perjalanan Tante Dinar mendapati tak perabot atau alat-alat aneh di dalam rumah utama. Ia hanya melihat beberapa pajangan seperti wayang serta hiasan kulit yang tertempel di dinding juga beberapa keris dan benda porselen kecil yang dipajang di lemari kaca, selebihnya sama seperti rumah-rumah orang kebanyakan.

"Silakan masuk," kata si pemuda.

"Lho, kamu ndak ikut masuk?" Tante Dinar memastikan dengan agak was-was.

Si pemuda menggeleng sambil membukakan pintu. Mau tak mau Tante Dinar masuk. Ketika berada di ambang pintu, Tante Dinar melirik takut-takut ke belakang dan dibalas senyuman oleh si pemuda.

Ruangan yang menjadi praktik Bunda tak semenyeramkan bayangannya. Hal pertama yang bisa ditangkap mata adalah sofa panjang berwarna merah marun beserta dua sfoa tunggal di kiri dan kanannya yang dilengkapi dengan meja di tengah. Kemudian ada beberapa lemari kaca yang berisikan pajangan-pajangan kereamik, keris, dan topeng-topeng. Tante Dinar berpikir kalau ruangan ini sebenarnya lebih pantas disebut sebagai ruang santai daripada ruang kerja.

Akan tetapi ... di mana Bunda? Kenapa ruangan itu kosong?

Tante Dinar terlonjak kaget karena pintu yang berada di sebelah salah satu lemari pajangan tiba-tiba terbuka. Dari balik pintu itu muncul sesosok wanita dewasa.

"Jeng Dinar?" tanyanya ramah.

Tante Dinar mengangguk kaku sambil diam-diam mengamati penampilan wanita itu. Wanita itu memakai kemeja corak bunga yang sudah pudar warnanya, dipadukan dengan rok rampel hitam semata kaki. Rambutnya yang dicepol agak sedikit berantakan. Anak-anak rambut di pelipis dan lehernya terlihat lembap karena keringat.

"Njenengan santai saja. Silakan ikuti saya."

Tante Dinar mengikuti wanita itu dengan dahi mengerut. Apakah wanita itu yang dipanggil Bunda? Kalau benar, Tante Dinar bisa bernapas lega karena raut wajah Bunda terlihat tenang dan teduh —yang lagi-lagi jauh dari bayangannya soal 'orang pintar'.

Di dalam ruangan itu perempuan dengan buntalan tengah menangis meraung-raung sambil memeluk buntalan yang terus ia bawa, seolah-olah jika ia lengah benda itu akan lenyap dari pandangan. Di sebelahnya, si wanita paruh baya terus berusaha menenangkan.

"Maafkan hamba Paduka Sri Paramesywari! Maafkan hamba!"

"Nduk, eling, nduk!"

Nyali Tante Dinar seketika menciut melihat pemandangan tersebut. Kakinya gemetar, tapi ia tak bisa pergi seakan-akan kakinya terpancang di lantai yang dingin.

"Kalau Njenengan kemari untuk cari jawaban. Jawabannya sudah ada di sini."

Tante Dinar memandang takut.

Tiba-tiba, si perempuan buntalan melihatnya. Tangisnya pun seketika reda. Tergopoh-gopoh ia mendatangi Tante Dinar lalu bersujud di kakinya.

"Maafkan hamba Paduka Sri Paramesywari! Maafkan hamba!" si perempuan makin tak terkendali. Ia bahkan sampai nekat memeluk kaki Tante Dinar hingga ia nyaris terjatuh.

"Eh, eh, minggir, minggir. Wong edan!" hardik Tante Dinar sambil mengempaskan tubuh si perempuan hingga terejerembap. Ia lalu berbalik dan angkat kaki. Datang ke sini memang kesalahan. Peduli setan pada Bunda yang berteriak memanggilnya atau si perempuan sinting yang kembali meraung-raung. Ia tak ingin ikut terkena sial jika berlama-lama di tempat ini.                                           

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now