#37 - Mimpi Pajang (7)

411 64 6
                                    

Sesungguhnya, suka dan duka tak dapat dihindari, karena keduanya adalah anugerah bagi pendewasaan diri. Mereka yang bijak tidak akan dapat dikacaukan oleh keduanya, justru mendapatkan manfaat.

Miruda mengembuskan napas. Sekelebat wejangan acarya yang pernah mengajarinya melintas. Setelah menghadapi berbagai kejadian yang menjungkirbalikkan dunianya ia baru mengerti maksud p­etuah tersebut? Rasanya ia ingin menyumpahi dan menertawakan diri. Beruntung, ia bisa belajar dari kesalahan dan masih diberi kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Dengan menyerahkan diri untuk dibimbing di bawah asuhan Rsi Sahitya, ia berharap mampu menebus dosa-dosa yang telah ia lakukan, atau paling tidak, mendapatkan kembali kepercayaan orang-orang di sekitarnya—terutama oleh saudara-saudarinya.

Dalam meditasi, Miruda tersenyum kecil. Ini pertama kali baginya ia merasa begitu tenang dan damai. Tadinya ia mengira matrisandhya* pagi itu akan berbeda, tapi ia bersyukur semua berjalan seperti biasa. Tidak ada satu pun yang mengungkit kejadian semalam. Semua khusyuk melantunkan puja dan sembah.

Di akhir prosesi matrisandhya, saat sebagian besar penghuni padepokan telah pergi dari sanggar pamujan* guna memulai kesibukan masing-masing, Miruda masih bersila dengan tenang, tertunduk sembari memusatkan pikiran. Tak peduli sengat matahari terasa membakar kulit, ia melanjutkan semadi dengan mata terpejam. Namun, konsentrasinya tiba-tiba terganggu karena kehadiran seseorang.

Sepasang kaki kecil berhias kuku-kuku berwarna merah menjejak di hadapannya. Senyum kecil Miruda tersungging. Ia tahu siapa si pemilik kaki cantik. Dirinya tidak mungkin melupakan kaki-kaki kecil yang dulu selalu membuntutinya bermain di taman istana.

"Maaf, jika aku mengganggmu, Raka." Si pemilik kaki berkata, "Ada yang ingin kutanyakan padamu."

Miruda tak menyahut. Sekelumit rasa segan dan gentar menghalanginya untuk mengangkat kepala.

"Apa kau tak ingin melihat wajahku lagi, Raka?" Si pemilik kaki kembali berucap. Kali ini nadanya menyiratkan luka.

Miruda menghela napas panjang, menyiapkan hati sebelum mendongak. Beribu kata maaf seketika tersangkut di ujung kerongkongan. Tatapan Unengan padanya sarat kekecewaan dan lara. Miruda bertanya-tanya, seberapa besar kemurkaan yang disimpan di balik hati adiknya itu?

"Aku tidak tahu apakah kau masih sudi melihat wajahku setelah semua hal tercela yang telah kuperbuat, Unengan." Dua tangan yang berada di atas pahanya terkepal erat. Wajah kembali tertunduk lesu. Katakanlah ia pengecut karena tak berani melihat reaksi yang akan diberikan adiknya itu. Tentu, Unengan berhak marah dan menghukum. Kendati demikian, ia percaya Unengan tak akan sampai hati melakukannya karena sifat penyayang yang ia miliki menurun dari ibu. Air matanya sekonyong-konyong tumpah ruah. Ingatan tentang ibu kembali muncul bagaikan dera dan menenggelamkannya dalam samudra nestapa.

"Maafkan atas semua dosa yang telah kuperbuat." Miruda melanjutkan dengan suara tercekat. "Maafkan aku. Maafkan aku. Aku tahu aku bersalah. Ibu pergi ... Ibu pergi ... karena—" Ia tak sempat melanjutkan ucapannya karena Unengan sudah lebih dulu memeluknya erat.

Unengan tersedu-sedan sambil memukul-mukul punggung sang kakak. "Raka, kau tidak tahu. Kau tidak tahu. Aku benar-benar terguncang. Kau ingin aku kehilangan keluarga lagi? Kau ingin pelan-pelan membunuhku? Ya, perbuatanmu sangat tercela, tapi ... tapi ... aku—aku tidak bisa membencimu."

Perkataan Unengan barusan layaknya tetesan hujan di musim kemarau. Miruda yang tak bisa menahan luapan kebahagiaan balas memeluk, lalu mengelus pucuk kepala Unengan yang bersandar pada pundaknya. Diperlakukan seperti itu membuat tangisan Unengan makin keras.

Miruda tersenyum dan membiarkan adiknya itu menumpahkan segenap rasa kecewa. Selang beberapa waktu, ia melepaskan pelukan lalu menyeka air mata pada pipi Unengan. "Jadi, apakah kau memaafkanku?"

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanWhere stories live. Discover now