#34 - Untaian Maaf (1)

770 95 5
                                    

Bab ini sangat panjang, karena ... ya ... saya suka nulis bagian ini 😁
.

.

.

====
Campaka nama gadis itu dan Rayung tak pernah menyangka jika keputusannya menerima ajakan Campaka mampu mengubah total hidupnya.

Mulanya Campaka memperkenalkannya pada sekelompok gadis muda dan Rayung sudah bisa menebak apa pekerjaan mereka. Setiap malam, layaknya bunga yang baru mekar, gadis-gadis itu akan memanggil-manggil para kumbang untuk mendekat. Siapa yang bisa menolak kemolekan tubuh gadis muda? Dengan senyum menggoda, mereka akann menghabiskan malam panjang, mabuk, bersenang-senang dan menari sampai pagi. Rayung ragu. Kelompok ini pastilah sama seperti kelompok-kelompok penghibur lain, jadi apa keuntungan baginya? Namun, tanpa diduga, seorang pria mencuri dengar percakapan mereka.

Pria itu menyebut dirinya sebagai ketua kelompok. Rayung memandangi pria itu lekat-lekat. Penampilan pria itu begitu garib. Rambutnya dipangkas habis seperti wiku, yang ditutupi destar berwarna ungu—warna yang tak lazim dipakai oleh pria. Ia juga memakai kain dan sabuk bercorak emas sebagai penutup bagian bawah tubuh. Jika dilihat baik-baik, semua yang menempel di badannya pastilah memiliki harga yang tinggi.

"Senang bertemu denganmu Rayung," sapa pria itu.

Keraguan muncul di hati. Rayung hendak menolak tawaran Campaka, tapi sang ketua keburu memotong. Ia lalu menjabarkan berbagai iming-iming yang membuatnya tergiur. Setelah menjadi anggota, tiap gadis akan menerima keterampilan merias dan merawat tubuh, pelajaran tata krama dalam bertutur serta berlaku, bahkan mereka akan diajari baca tulis langsung oleh ketua. Bukankah tak ada alasan baginya untuk menolak?

Rayung lantas menyetujui ajakannya. Ia pun resmi menjadi anggota. Dalam waktu singkat ia mendapatkan kehidupan yang selalu ia dambakan; rumah sederhana yang bisa ia tempati serta makanan untuk ibu dan adik-adiknya yang selalu tercukupi. Ia bekerja dengan senang hati, menunggu para lelaki yang menyewa mabuk dan tak bisa bangun lagi. Mereka lalu mulai menelanjangi sampai tak tersisa, mengambil semua yang berharga. Kelompoknya melakukan ini berpindah-pindah dari satu daerah ke daerah secara acak, sehingga gerakan mereka tak mudah dilacak.

Namun, tak ada laut yang tak berombak. Meski imbalan yang ia terima begitu tak terkira, Rayung sadar kalau pekerjaannya ini begitu berbahaya. Bagai menantang maut tiap malam. Tak ada yang tahu apakah ia bisa melihat matahari pagi esoknya. Terlebih sang ketua pernah mengatakan jika terjadi sesuatu pada anggota, ia tak akan menanggung risikonya. Apakah setelah mengetahui hal ini Rayung akan berhenti? Tentu tidak. Ia yakin selama ia bisa menjaga diri sebaik mungkin, ia pasti aman.

Rayung memejamkan mata sambil menikmati semilir angin. Sejauh mata memandang ia hanya bisa melihat air serta kapal-kapal yang hilir-mudik membawa berbagai muatan. Mereka hampir tiba di Lodaya. Sesuai rencana, mereka berangkat menumpang kapal-kapal pedagang yang mengarungi bengawan Brantas. Lodaya, yang ia tahu, ialah kota yang terletak di wilayah Kamal Pandak. Dulu, kota ini merupakan ibukota Lodoyong. Saaat ini negeri Lodoyong tak lagi ada, hanya menyisakan daerah otonom yang tak terikat dan tak memihak Panjalu maupun Janggala.

Di Lodaya, siapapun dari dua negara dapat bebas keluar masuk. Hanya ada dua hal yang diwajibkan kepada orang asing yang masuk ke daerah ini, yaitu membayar pajak dan mematuhi hukum yang berlaku. Ada alasan mengapa kota ini begitu istimewa. Pada masa pembelahan Medang jadi dua—yang menghasilkan Panjalu dan Janggala, dengan bengawan Brantas sebagai batas, Lodoyong menentang keras. Sang penguasa wanita dari Lodoyong yang perkasa menggempur Medang sehingga Airlangga terpaksa terpukul mundur dari istana. Sayangnya, kemenangan tersebut tak berlangsung lama. Airlangga sang penguasa Medang menyerang balik. Ia pun berhasil melumpuhkan Lodoyong sekaligus penguasa wanita itu dalam sekejap. Sebuah perjanjian disepekati setelahnya; kota Lodaya tak akan dihancurkan dengan syarat harus menghormati kekuasaan Panjalu dan Janggala tanpa pandang bulu.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang