#23 - Dunia Tempatnya Kembali (2)

1.2K 196 3
                                    

Vivi benci jika ia harus menunjukkan emosinya di hadapan orang lain, tapi sungguh, apa yang tersaji di hadapannya saat ini mampu membangkitkan sisi sentimentalnya. Rasanya seperti kembali ke masa lalu di mana semua masih baik-baik saja, di mana ia masih bisa mengekspresikan diri melalui gerakan tubuh; memutar, melenggok, berayun tanpa beban. Bebas seperti embusan angin.

"Ayo, Vivi, kita masuk," ajak Bu Lina.

Vivi melangkah ragu. Memasuki ke pekarangan rumah Bu Lina yang luas, ia bisa menyaksikan beberapa anak perempuan dari berbagai rentang usia tengah bersiap dengan peralatan tari; selendang warna-warni, topeng-topeng kayu, jambangan kuningan berisi bunga dan potongan-potongan kertas kecil. Di salah satu sudut pekarangan, terdapat sebuah pendopo berukuran delapan kali sepuluh meter yang dipenuhi dengan barang pribadi milik murid-murid Bu Lina. Di sana, Vivi menangkap sosok Mita, keponakan Mbak Irma, beserta tiga gadis sebayanya.

Mereka menatap Vivi seperti mesin pemindai, terutama Mita yang jelas-jelas melihatnya seperti musuh.

Satu jam pertama, ia habiskan untuk melihat Bu Lina melatih gerakan dasar sepuluh bocah perempuan di sanggarnya. Vivi tanpa sadar tersenyum. Mendengar alunan gending dari speaker, ditambah melihat bocah-bocah junior itu kesulitan mengikuti instruksi Bu Lina, membuat mood-nya sedikit membaik.

Vivi sangat terkesan dengan kegigihan dan semangat Bu Lina. Ia tahu kalau Bu Lina menjalankan sanggarnya ini seorang diri, mulai dari merancang materi pembelajaran, melatih, hingga mempromosikan sanggarnya—ya meskipun ada beberapa orang yang membantunya di bidang administrasi. Namun, Vivi tahu ada kalanya Bu Lina akan merasa kerepotan, apalagi saat jadwal lomba dan festival yang tumpang tindih. Untuk menyiasati hal itu Bu Lina pasti akan meminta bantuan murid senior dari sanggarnya untuk membantu melatih para junior. Inilah salah satu cara mengajar Bu Lina yang Vivi sukai. Mantan gurunya itu tak segan melibatkan muridnya langsung.

Memasuki waktu istirahat, tanpa diduga sama sekali bocah-bocah itu tiba-tiba mengerubutinya seperti semut yang melihat gula. Sementara Bu Lina beralih pada murid-murid senior.

"Kakak yang namanya Kak Vivian, ya?"

"Kakak! Aku lihat videonya Kak Vivian, lho!"

"Kakak narinya bagus, deh! Padahal kakak di video kakak masih seumuran kita!"

Vivi mengerutkan kening karena tak mengerti hal yang bocah-bocah itu bicarakan, apalagi pelafalan mereka yang bercampur dengan logat lokal membuat Vivi nyaris mendengus geli. Salah satu bocah paling tinggi dari kemudian mereka memberanikan diri untuk duduk di sebelahnya. "Kakak, sekarang masuk sanggar apa?" tanya bocah itu.

"Kalian ngomong apa? Saya nggak ngerti. Dan lagi, saya udah nggak ikut di sanggar manapun. Saya udah berhenti nari." Dahi Vivi makin mengerut dalam ketika bocah-bocah itu malah menatapnya kecewa.

"Jadi, begini, Kak ..." Si bocah paling tinggi mulai bercerita bagaimana mereka bisa melihat video rekaman festival tari yang pernah Vivi ikuti ketika pertama kali ia bergabung di sanggar Bu Lina. Bocah itu juga bilang kalau sebelum memutar video itu Bu Lina sempat marah besar pada Mita karena gadis itu sempat absen latihan geladi bersih. Alasan absennya pun terdengar sangat konyol; ia sedang tidak mood karena PMS. Setelahnya, Bu Lina menunjukkan video rekaman itu dan mulai membanding-bandingkan dirinya dengan Vivi.

Vvi mendengus geli. Oh. astaga. Hanya karena masalah sepele dia jadi sasaran kebencian? Ia melemparkan tatapan mencemooh pada Mita. Sekelebat muncul ide konyol di kepalanya. Bagaimana kalau sekalian saja ia mengikuti permainannya gadis manja itu?

.

.

.

Kelas menari Bu Lina berakhir pada pukul tujuh malam. Sebelum Vivi pulang, mantan gurunya itu menyempatkan diri untuk mengajak Vivi makan malam di salah satu restoran favoritnya.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanOnde as histórias ganham vida. Descobre agora