#33 - Tabir Kutukan (2)

718 119 3
                                    

"Ibu." Rayung menghela napas panjang. Isi dalam mangkok masih terlihat sama seperti pertama kali ia bawa ke kamar. Ia hanya meminta ibunya makan satu suapan sekali lagi, tapi ibu mertuanya malah ingin menyudahi. Jujur, ia mulai jenuh. Untuk melepas penat biasanya ia akan menenangkan diri di kebun belakang lalu termenung. Lama. Biasanya hal ini ia lakukan sampai matahari condong ke barat. Ada sedikit kekecewaan tiap kali ibunya menolak untuk makan. Kalau terus begini, bagaimana ibu mertuanya bisa sembuh?

Perempuan itu kemudian menyeka mulut ibu mertuanya dengan hati-hati. Wanita tua itu tiba-tiba terbatuk, terdengar sangat berat, dalam, dan sesak. Rayung lekas memberikan gelas berisi air dan membantunya minum.

"Ibu, ada yang ibu butuhkan lagi?" tanyanya lagi sambil memijit-mijit kaki ibu mertuanya, meski hal itu tak berguna. Kedua kakinya tak bisa merasakan apapun lagi sejak terjatuh di ladang dan melukai kepalanya beberapa tahun silam.

Alih-alih menjawab, wanita tua itu menggeleng, lalu dengan tangan gemetar menunjuk jendela yang setengahnya tertutup tirai sewarna bunga asana. Di luar sana terlihat tetes-tetes kecil air hujan jatuh ke atap rumbia, satu per satu meninggalkan jejak lembap di udara. Dahan-dahan pepohonan dan tirai manik-manik yang menghiasi jendela bergoyang tertiup sepoi angin.

"Ibu masih kedinginan? Maafkan anakmu. Anakmu ini akan menurunkan kelambu untukmu."

Kini, penerangan yang tersisa di kamar ibu mertuanya hanyalah sedikit cahaya yang menembus kelambu serta dua lampur damar yang ia nyalakan. Rayung kemudian menambah selimut yang membungkus wanita tua itu dan tak lupa ia menggosokkan ramuan minyak pada kaki dan tangannya untuk menjaganya tetap hangat.

"Ada lagi yang ibu butuhkan? Kalau tidak, anakmu ini ingin izin sebentar untuk membereskan dapur. Bolehkah?"

Sang ibu mertua bersusah payah menaikkan sedikit kedua ujung bibirnya, tetapi hanya sudut sebelah kanan yang terangkat. Wajahnya seakan-akan terpilin ke satu sisi. Mengerikan. Siapapun yang melihat kondisi ibu mertuanya saat ini, pasti akan berkata roh jahat telah mengganggunya. Ia dan suaminya tentu tak peduli. Mereka yakin ada penjelasan tentang penyakitnya ini. Pasti. Ibunya pasti sembuh seperti sedia kala. Itu adalah mantra dan doa yang selalu mereka ucapkan tiap hari, meski sampai saat ini mereka belum juga menemui titik terang; Semua tabib yang mereka datangi nyatanya tidak mampu memberikan kesembuhan bagi ibu mertuanya.

Merek tak akan pernah putus asa. Mereka akan terus mencari walau harus mencari ke seberang lautan yang jauh.

"Baiklah, ibu. Anakmu ini tidak akan lama." Setelah memastikan ibu mertuanya istirahat dengan nyaman, Rayung pun beranjak, mengingat dapur yang ia tinggalkan tadi masih sangat kacau dengan tumpahan masakan serta pecahan teko gerabah berisi ramuan rempah. Ini memang salahnya. Entah kenapa hari ini suasana hatinya hari ini kurang baik. Apapun yang ia kerjakan sepagian ini, selalu tidak benar. Mungkinkah ia butuh istirahat sejenak?

Rayung seketika terkekeh kecil. Tawanya terdengar tumpang tindih dengan suara derit kayu yang mengiringi tiap langkah. Beberapa hari yang lalu suaminya pernah bertanya, apakah dirinya bosan harus merawat ibunya yang renta dan sakit-sakitan seakan ajal siap mendatanginya kapan saja? Ia hanya menanggapi ocehan suaminya itu denga senyuman dan tak berniat untuk menjawab.

Di tengah perjalanan menuju dapur, sekonyong-konyong bayangan hitam yang bergerak dari arah selatan rumahnya tertangkap dari sudut mata. Melalui jendela persegi yang terbuka, Rayung mencoba melihat dengan jelas. Bayangan itu melaju cepat dan tanpa suara. Tak ada yang bisa memastikan bayangan itu hanyalah binatang atau makhluk tak kasatmata. Namun, Rayung yakin kalau bayangan itu adalah manusia. Apakah itu pencuri yang biasa menggasak benda berharga atau hasil bumi? Namun, ini masih siang. Mungkinkah ...

Tidak mungkin. Ini bukan waktunya.

Tak ada waktu baginya untuk merasa kaget apalagi ketakutan. Dengan tergopoh-gopoh ia menuju pintu samping, lalu menuruni tangga kayu setinggi lima depa. Pekarangan belakang rumahnya tidak luas, hanya memiliki ukuran panjang tiga puluh dan lebar dua puluh hasta. Di sebelah kiri pengarangan berdiri bangunan kecil yang digunakan sebagai tempat menyimpan bahan makanan, sedangkan di ujung selatan pekarangan, dapur dan bilik air berada.

Ketika Cahaya Rembulan Mengecup LautanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang