Bab 13

1.1K 73 0
                                    


Dentingan suara piring beserta sendok menggema di ruang belakang keluarga Revano Lewis. Karena tidak lengkap, hanya kurang satu kepala keluarga, mereka tetap khidmat melaksanakan sarapan di pagi hari ini. Perempuan yang tadinya sedang merajuk kepada orang yang lebih tua beberapa tahun diatasnya, kini sudah bergabung dengan kedua orang yang menurutnya 'menyebalkan'. Seseorang yang duduk bersebelah dengan Ibu Rumah Tangga itu, mereka berdua saling melempar pandangan. Entah apa yang mereka tatap, mereka hanya saling mengunyah makanannya. Seorang Ibu Rumah Tangga ini terus memperhatikan anak perempuannya yang tidak bersemangat memakan makanan yang ia buat. Naluri seorang Ibu sangat peka terhadap disekelilingnya, terutama kepada anaknya sendiri. Ibu yang mengandung, melahirkan dan membesarkan anak perempuan yang di sebrang sana, ia tampak sedikit khawatir. Bagaimana tidak, tidak biasanya anak perempuannya itu makan tidak bersemangat hari ini. Padahal sebelum kejadian tadi, perempuan itu sangat bersemangat. Sehabis acara sarapan ini selesai, ia sudah mempunyai pertanyaan untuk anak perempuannya itu. Ia harus bertanya, dan memang harus bertanya mengapa perempuan itu tidak bersemangat hari ini.

Laki - laki disamping Ibu Rumah Tangga ini, ia terus menatap teman kecilnya di sebrang sana. Benar apa yang tadi dilihat oleh seorang Ibu tadi, Mamah dari anak perempuan itu, benar - benar tidak bersemangat. Menyendok satu persatu suapan nasi beserta lauknya, ia tidak berpindah tatapan dari teman kecilnya. Pandangan yang selalu berarti bagi yang lain, ia tidak bisa menundukkan tatapannya. Ia sangat tahu, dan kalian juga pasti tahu bahwa perempuan itu mempunyai penyakit yang tidak bisa hilang begitu saja. Ingin sekali rasanya ia memaksa perempuan itu agar menyendok nasi beserta lauknya lebih banyak lagi. Geram melihat perempuan itu sangat lama menyendok nasinya, ia benar - benar ingin memaksa perempuan itu sekarang juga.

Kakak laki - laki disamping perempuan yang sangat lama mengunyah makanannya, ia juga melihatnya. Bagaimana tidak, ia sudah berapa kali berpesan kepada perempuan disampingnya bahwa mengonsumsi pangan berkarbohidrat itu harus banyak. Tapi apalah dirinya, sudah beberapa kali ia berpesan sudah beberapa kali juga ia terkena semprotan dari perempuan disampingnya.

"Tha." Panggil Kakak laki - lakinya

Juniatha, ia hanya menoleh sedikit tapi tidak dengan menjawabnya. Se'ngambek'nya kah dirinya kepada orang - orang terdekatnya? Hanya dia lah yang mempunyai sifat ter'aneh' di keluarganya.

Arkan menghela nafas, "Juniatha." Panggil kedua kalinya

Kali ini ia tidak menoleh, melainkan meletakkan sendok beserta garpunya disamping piring yang masih tersisa makanannya. Mubadzir bukan? Inilah dirinya dengan sifat ke'aneh'annya.

"Aku udah, keatas duluan." Katanya dengan wajah sangat datar. Ia pergi, meninggalkan makanannya yang masih setengah utuh, dan meninggalkan yang lain belum menyelesaikan makanannya

"Kamu belum menghabiskan makanan mu Juni." Balas Arkan tidak melihat Adiknya yang sudah menaiki anak tangga

"Kenyang." Sahut Juni singkat. Ia tetap beranjak pergi

Arkan meletakkan sendok garpunya, "Kamu harus hargain masakan Mamah, Juniatha Revano!. Habiskan makanan mu." Tegasnya memberitahu Adik perempuannya

Juni terus menginjak anak tangga itu, tidak menggubris celotehan Kakak laki - lakinya. Benar - benar bukan sifat kekanak - kanakan dan keanehan dari dirinya, hanya satu laki - laki lah yang bisa menerima dirinya tanpa harus melihat sifat asli jati dirinya sendiri.

"Bang udah, nanti Juli yang susul." Ucapnya dengan mulut mengunyah makanan yang ia makan

Arkan terdengar menghela nafas, ia menggeleng - gelengkan kepalanya. Pasalnya ia tidak tahu apa alasan Adik perempuannya berperilaku seperti tadi. Tidak menatap dirinya ketika berbicara, tidak menghabiskan makanan yang telah disediakan oleh Mamahnya, serta meninggalkan begitu saja sarapan di pagi hari ini.

CERITA JUNI & JULI [END]Where stories live. Discover now