36. Kilas Balik

4.2K 214 4
                                    

Hujan mengguyur Ibukota, suasana malam kian mencekam. Terdengar petir yang bersahutan, tak jauh dengan kondisi hati seorang lelaki remaja yang berada dalam ambang keterpurukan.

Jaket levisnya dia rapatkan, berdiri tepat dipinggir jalanan malam. Merelakan tubuhnya berderai air hujan.

Seolah mati rasa, dia tak merasa kedinginan. Percaya atau tidak, ini adalah kali pertama maniknya dihiasi air mata, bersamaan dengan hujan yang mengiringi tiap tetesannya.

Terduduk kaku ditepi jalan jembatan saat malam kelabu, persetan jika raganya sakit atau tak akan lagi bernyawa.

Menangis dalam diam, dia meratapi segala kepedihan yang terpendam.

Wajahnya rupawan, masih berstatus siswa dari sekolah menengah pertama yang beberapa langkah lagi akan naik ke jenjang yang lebih tinggi.
Ditatapnya tas ransel yang penuh akan barang bawaannya. Lalu tersenyum getir.

Dia bernama Dewananda Aryasatya, anak dari pemilik Aryasatya group yang baru-baru ini tengah melambung didunia bisnis.

Namun kebahagiaan tak selamanya abadi, ada kala dimana masa merenggut semua darinya. Kedua orangtuanya meninggal sebab kecelakaan satu hari lalu, bahkan gundukan makam yang masih basah harus diguyur derasnya hujan.

Dan tepat dimalam ini, ada beberapa lelaki yang bahkan tak ia ketahui sama sekali. Datang kerumah milik ayahnya dan menyita seluruh apa yang dimiliki hingga habis tak tersisa.

Dewa diam kala itu, menyambut kehadiran mereka dengan sinis hingga sempat mengancam akan melaporkan kepolisi.

Namun bukannya takut, mereka para lelaki bertumbuh gempal yang dibalut tuxedo hitam nampak acuh tak acuh. Malah menyuruh Dewa untuk berkemas dan mengangkat kaki dari sana.

Satu kenyataan pahit yang ia terima.

Rumah kenangan terakhirnya disita. Mereka bilang bahwa Ayahnya telah menjalankan bisnis dengan berlaku curang, dan telah menipu sekian dari mereka yang terlibat kontrak kerja.

Tentu Dewa terkejut bukan main, bahunya luruh seketika. Namun apa daya, dia menuruti kemauan mereka. Sebelum itu dirinya sempat menengok kebelakang, menatap miris pintu rumah mewahnya yang digembok sedemikian rupa. Dan tertempel kertas bertuliskan.

'Rumah ini telah disita.'

Rumah yang ayahnya dapat dari hasil menipu dan segala kecurangan.

Lelaki itu masih diam, air matanya terus berlinang. Dewa sendiri, orangtuanya telah pergi, saudara dekat yang Dewa miliki pun tak ingin terlibat dalam hal ini, bahkan temannya mengundurkan diri.

Dia tak memiliki siapapun saat ini, sanak saudaranya tak ingin mendekat menanggung malu atas kecurangan apa yang telah dilakukan orangtuanya, bahkan teman yang dulunya ia banggakan kini tak mau terlibat dalam kesedihan. Sungguh miris bukan?

Perasaan menyesal berkelakar dalam benak. Merenungi setiap apa tingkah laku yang membuat kedua orangtuanya sakit hati. Dia mengusap wajahnya, Dewa tahu bahwa dia bukan anak baik dengan segudang prestasi. Yang selalu menang mengikuti berbagai olimpiade, jauh dari kata liar dan nakal.

Semua berbanding terbalik, Dewa anak nakal, dia liar, suka tawuran, balapan, atau pergi ke diskotik untuk sekedar have fun. Menghamburkan uang serta mobil untuk ajang taruhan, meskipun kerap kali dirinya selalu menang.

Dia bodoh, dan baru sadar sekarang. Yang dilakukan hanyalah membuat dua orangtuanya geram. Hanya ada kerutan dan kemarahan saat Dewa pulang larut malam sehabis balapan. Baru tersadar bahwa semua sikapnya membuat seorang Wijaya Aryasatya-ayahnya jengah.

P & P [REVISI]Where stories live. Discover now