Bonus Chapter #4

1.3K 24 146
                                    

Martha Evelyn,
Adiputra, dan
Valerie.

Karena memang, hal tersulit yang dilakukan oleh manusia adalah; berhenti mencintai dia yang masih tertangkap jelas oleh mata.

-

Martha sedang menyibuki dirinya.

Biasa, gadis itu tidak mungkin tahan untuk diam walaupun hanya 10 detik saja. Seperti saat ini, kini ia sedang menyibuki dirinya dengan membolak-balikan album foto yang berukuran cukup besar yang berada di pangkuannya itu.

Lumayan, sekalian mengenang masa lalu, pikirnya.

Setiap foto yang menampilkan kenangan indah maupun kenangan lucu juga kenangan sedih sekaligus, sukses melukiskan sebuah senyuman kecil di wajahnya yang membuatnya kembali mengingat kenangan demi kenangan yang pernah singgah di kehidupannya.

Karena pada dasarnya, kenangan hanya singgah dan tinggal di bagian kecil di otak kita saja. Kenangan juga udah kodratnya hanya di kenang saja, susah untuk di ulang kembali. Karena mungkin saja mereka yang menjadi bagian kecil dalam kenanganmu menolak untuk mengulang kembali kenangan indah kalian bersama.

“Yang ini goblok banget sumpah” tunjuk Martha ke sebuah foto yang menampilkan seorang gadis dengan rambut kepang dua sedang tersenyum bodoh ke arah kamera sambil memegang dua buah es krim yang berada di tangannya.

Sampailah pada sebuah foto yang menampilkan 3 remaja saling berangkulan; 2 perempuan dan 1 laki-laki.

Senyuman yang terlukis di wajah Martha berbeda dari yang tadi, kini senyumannya menyiratkan sedikit kesedihan di dalamnya. Senyumannya pahit.

Martha mengeluarkan foto tersebut dari albumnya, membalikkan foto itu dan melihat 3 nama yang menarik perhatiannya.

Adiputra, Martha, Valerie.

Gadis itu sedang menggigit kuku ibu jarinya, tampak khawatir sekaligus takut. Kedua kakinya bergetar hebat, sekaligus raut wajah takut tercetak sangat jelas di wajahnya.

“Lo kenapa sih, Ta?” tanya temannya sambil memperhatikan gadis itu dengan raut wajah bingung.

Martha, nama gadis itu, ia hanya bisa menggelengkan kepalanya, memberi kode kepada temannya bahwa ia tidak apa-apa saat ini.

Tapi kenyataannya berbeda, raut wajahnya menyiratkan bahwa kini ia sedang ada apa-apanya. “Kenapa, sih? Cerita ke gue, kek” paksa temannya yang satu itu.

Martha bimbang, antara memilih memberi tahu masalahnya atau memendamnya sendiri.

Martha bimbang, apakah menceritakan masalahnya adalah jalan yang terbaik atau malah memendamnya sendiri adalah jalan yang paling baik?

Rasanya ia ingin memberi tahu temannya masalah apa yang sedang ia derita, namun mulutnya hanya bisa berkata, “Lo gak bakal ngerti, Val”

Valerie, nama teman Martha, hanya bisa menggelengkan kepalanya tidak percaya, dengan raut wajah kecewa yang dibuat-buat, ia berkata dengan suara sedihnya, “Gue gak nyangka, Ta. Lo kira gue gak bisa mengerti masalah dalam hidup lo? Selama ini lo gak anggap gue teman apa gimana?”

‘Gue bisa mengerti semuanya, kecuali tentang dia, Ta’

“Bukan gitu, Val. Tapi ini beda lagi” kemudian gadis itu tampak berpikir selama beberapa saat, lalu menghela napas lelah, setelahnya ia berucap, “Ini masalah dia. Si Adi. Dia kasih gue surat ini” ucapnya seraya memberikan sebuah surat berwarna merah muda dengan hati di tengahnya kepada Valerie.

Stay [Completed]Where stories live. Discover now