[40] End?

3K 72 265
                                    

Saat ini Juan sedang menarik napasnya dalam-dalam kemudian menghembuskannya secara perlahan-lahan. Bukan tanpa sebab, melainkan saat ini ia sedang berusaha untuk menghilangkan perasaan gugupnya. Bukan tanpa sebab lagi, melainkan saat ini ia sedang mengendalikan pikiran dan juga emosinya.

“Tenang, Juanda. Lo gak boleh gegabah. Lo harus tenang. Pikirin semuanya dengan kepala dingin dan hati yang tenang” ia memejamkan matanya sesaat kemudian mulai memutar knop pintu yang berada di depannya.

Kini ruangan sepi dan dingin berada di depannya. Ia berjalan perlahan, membiarkan dirinya menjadi sorotan bagi kedua pasang mata yang berada di depannya. Agar tidak terlihat terlalu kaku, ia mencoba memaksakan sedikit senyuman di wajahnya. Kemudian menyapa dengan sangat-sangat manis “Hai, semuanya. Kabar baik?”

‘Shit. Goblok. Lo pasti kelihatan aneh banget sekarang’

Bukan tanpa sebab lagi ia bertingkah seperti ini. Melainkan ia masih tidak tau harus bersikap seperti apa kepada laki-laki itu yang notabenenya merupakan kekasih dari sepupunya.

Eh, tunggu? Mungkin lebih tepatnya mantan kekasih sepupunya.

Perlu diingat, Juan tidak cemburu. Melainkan Juan hanya tidak ingin sepupunya disakiti saja. Hanya itu. Memang Juan sadar ia over protektif. Tapi apa salahnya? Hanya berusaha melindungi sebelum gadis itu disakiti lebih dalam lagi. Gak salah, kan?

“Juan, kenapa lo? Kaku amat”

Dan Juan semakin kaku, kini ia berusaha mati-matian untuk terlihat lentur seperti biasanya. Ia menidurkan dirinya diatas ranjang kemudian berkata “Kaku? Emang gue nyeri sendi?”

“Ngapain lo ke rumah gue?”

Juan mengernyitkan dahinya heran “Emang kenapa? Emang cuma Mario aja yang boleh ke rumah lo, Vin? Emang gue bukan teman lo? Jadi, gitu? Jadi disini gue gak di terima?”

“Sensi amat sih, lo. Kayak cewek lagi dapet aja” Alvin menggeplak kepala Juan kemudian ia berkata “Gue cuma bingung aja lo tiba-tiba datang kesini”

Dengan langkah cepat Juan duduk, bangkit dari tidurnya, kemudian berkata “Sebelumnya gue turut berduka cita buat kepergian Papa lo yang terlalu cepat. Dan juga, kedatangan gue kesini bukan tanpa sebab. Melainkan ada yang mau gue omongin ke lo”

“Udah gue duga. Yaudah, cepet ngomong. Gak usah pake pembukaan, salam, puji syukur, langsung ke intinya aja”

Dan kini, Juan langsung keringat dingin.

Bagaimanapun juga Alvin adalah temannya. Ia tidak ingin membuat laki-laki itu salah paham terhadap perkataan maupun sikapnya dan akhirnya malah menambah masalah bagi hubungan Alvin dan juga Maureen. Kini ia menghirup oksigennya dalam-dalam kemudian berucap “Gue tau lo sama Maureen lagi ada masalah. Disini kedatangan gue bukan bermaksud untuk menyalahkan lo, menyudutkan lo, dan membuat lo menjadi kepikiran terus. Disini kedatangan gue, cuma mau bantuin lo dan Maureen. Lo mau kan hubungan lo dan Maureen kembali adem?”

Alvin terdiam selama beberapa saat. Kemudian dengan pelan, ia menganggukkan kepalanya. “Tanpa gue jawab, seharusnya lo udah tau apa jawaban gue, Ju. Lo tau gimana perasaan gue ke dia, lo tau kan seberapa besar gue mencintai dia? Gue gak mungkin lepasin dia begitu aja. Gue sungguh-sungguh dengan perasaan gue ke dia. Sampai detik ini pun, gue begitu dalamnya mencintai dia. Amat sangat”

‘Udah gue duga. Ini pasti salah paham doang. Karena gue tau, Alvin bukan cowok brengsek. Dia pasti masih sayang sama Maureen’

“Terus apa yang ngebuat lo sama Maureen jadi kayak gini? Disini gue bukannya ikut campur atau gimana, tapi lo tau, Vin, Maureen juga benar-benar sayang sama lo. Kondisi dia kemarin parah banget, dia kayak semacam frustasi gitu. Dan gue benar-benar sedih ngelihat dia sampai kayak gitu. Benar-benar parah sampai-sampai gue gak tega ngelihat dia yang nangis terus sepanjang malam. Kondisinya benar-benar kacau. Gue sendiri juga gak tau harus gimana biar dia gak nangis terus. Karena gue sendiri juga gak ngerti sama masalah kalian”

Stay [Completed]Where stories live. Discover now