[4]

5.1K 176 53
                                    

"Bagaimana dengan sekolah kamu?" suara seseorang memecah keheningan yang sedari tadi melanda sebuah keluarga dengan seorang ayah, seorang ibu, dengan anak laki-lakinya. Mereka terlihat canggung bersama. Arvano tetap menyendok makanan di hadapannya dengan tenang dan tanpa terganggu dengan perkataan sang kepala keluarga.

"Bukan urusan Papa. Gak usah sok peduli sama saya" Arvano menjawab seadanya. Memang kalau Arvano pikirkan, kalaupun dia ada masalah, apa hubungannya dengan kedua orang tuanya? Masih untung Arvano mau menjawabnya.

"Jaga bicara kamu, Arvano Ravindra! Saya tidak pernah mengajari kamu untuk kurang ajar kepada orang yang lebih tua" akhirnya sang ibu pun angkat bicara setelah beberapa saat terdiam.

"Kenapa? Kenapa aku gak boleh bicara seperti itu? Masih untung aku mau manggil dia dengan sebutan Papa" Arvano memberi penekanan di kata Papa. Selera makan Arvano sudah hilang. Mau bagaimanapun laki-laki dihadapannya tetap bukan ayahnya.

"Kamu jangan kurang ajar ya. Kamu semakin hari semakin kurang ajar. Mau bagaimanapun juga kita tetap orang tua kamu. Kamu gak pernah di ajarin sopan santun ya? Mau bagaimana pun juga dia tetap Ayah kamu dan saya tetap Ibu kamu" emosi sang ibu yang sedari tadi ditahan akhirnya memecah.

"Udah berapa kali aku bilang ke Mama, dia bukan ayah aku. Kalaupun perkataan aku kurang sopan, itu salah Mama yang gak bisa didik aku dengan benar. Mama yang udah gagal ngejalanin peran Mama sebagai seorang ibu" perkataan dinginnya menusuk relung hati sang ayah maupun sang ibu. Walaupun kenyataannya ia memang bukan ayah kandung dari Arvano Ravindra, tapi ia sudah menganggap Arvano adalah putranya sendiri.

PLAKKK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi kanan Arvano. Arvano menatap mata sosok ibu kandungnya yang dengan teganya menampar dirinya. Ini adalah pertama kalinya sang ibu menampar dirinya. Sang ibu yang sudah mengandung dirinya selama 9 bulan, tega menampar anaknya karena seorang laki-laki yang notabene nya bukan ayah dari Arvano.

"Mama masih mau bilang kalian adalah orang tua aku? Apakah kalian pantas disebut sebagai 'Orang Tua'? Saya tanya kepada kalian, apakah ada seorang ibu yang tega menampar anaknya sendiri? Dan juga untuk suami baru Mama, seharusnya Mama masih bersyukur aku mau memanggilnya dengan sebutan Papa. Seharusnya Papa juga mikir, anak laki-laki Papa yang asli mau dikemanain? Apakah Papa gak berpikir kalau dia juga butuh yang namanya sosok ayah di kehidupan dia? Urusin aja anak kandung Papa yang asli. Gak usah sok-sok an mau ngurusin anak orang lain. Urus anak sendiri aja belum bener, jadi gak usah sok baik sama aku. Dan kalau bisa Mama juga ngurusin dia aja. Aku gak keberatan. Kalian bisa ngebangun keluarga bahagia dengan anak laki-lakinya" Arvano pun bangkit dari kursinya dan pergi menuju kamarnya. Ia sudah muak dengan segalanya. Tidak di sekolah maupun di rumah, ia merasa segalanya membuat dirinya muak. Ia sudah lelah dengan segalanya. Setiap hari ia harus melihat laki-laki dengan perempuan yang telah membuat sang ayahnya meninggalkan dirinya.

"Arvano! Mau kemana kamu? Mama belum selesai bicara!"

Teriakan dari ibunya tidak membuat langkah Arvano terhenti. Ia tetap melangkah menuju kamarnya. Hatinya semakin sakit jika ia harus berlama-lama dengan ibu dan ayah barunya.

Ia pun membaringkan diri di sebuah kasur berukuran besar. Ia memandangi langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu. Warna langit-langit kamarnya tampak seperti suasana hatinya saat ini. Gelap.

Arvano hanyalah sesosok remaja biasa. Ia juga sebenarnya membutuhkan teman yang dapat menemaninya melawan sepinya hati. Namun apalah artinya teman jika selama ini teman yang Arvano butuhkan tidak kunjung datang. Melainkan hanya teman yang memanfaatkan kepintaran Arvano. Jika Arvano tidak pintar, tidak akan ada siswa yang mau mengajaknya bicara.

Stay [Completed]Where stories live. Discover now