[30 C]

1.3K 60 548
                                    

Mario menghentikan permainan basketnya ketika melihat gadis itu menuruni anak tangga, berhenti tepat di depan lapangan. Mario melihat gadis itu terus menundukkan kepalanya. Gadis itu tidak sendirian. Ia bersama temannya.

Mario langsung berlari ke arahnya, dengan keringat yang terus bercucuran, Mario berdeham lalu berkata “Tas, ada yang harus gue omongin sama lo”

Tasia, gadis itu. Ia mengangkat kepalanya, mensejajarkan pandangan matanya pada wajah Mario. Tasia tersenyum, setidaknya Mario masih ingin berbicara padanya setelah penolakan yang menyakitkan itu.

Tasia bersyukur.

Tasia mengangguk, mengiyakan ajakan Mario. Kemudian Mario berjalan disusul Tasia yang berada di belakangnya. Mereka berjalan ke tempat yang cukup sepi di pinggir lapangan. Mario kembali berdeham, menetralkan suara seraknya, kemudian berbicara suatu kata yang menusuk hati Tasia “Lo apain Maureen?”

Tasia seharusnya sadar bahwa Mario mengajaknya berbicara hanya untuk menanyakan Maureen.

Bukan menanyakan dirinya.

Sebenarnya Mario sadar atau tidak bahwa disini bukan hanya Maureen maupun Alvin saja yang terluka. Tapi dirinya juga.

Terluka karena Mario yang benar-benar tidak mempedulikan perasaannya sama sekali. Mario yang benar-benar bodoh karena menolak dirinya.

Mengapa Mario sama sekali tidak bisa membuka hatinya untuk dirinya?

Dirinya yang disini setia menunggu Mario sampai kapanpun.

Apa Mario gak bisa membuka matanya sedikit, melihat di luar sana ada yang sedang menunggunya. Menunggu dirinya, tidak peduli hati, batin, maupun fisiknya yang lelah.

Tidak peduli seberapa sakit rasanya, Tasia akan tetap menunggu Mario.

Tasia menunduk, air matanya jatuh membasahi wajahnya “Kenapa sih lo gak bisa ngertiin gue sedikit aja, Mar?

“Kenapa lo harus nanyain Maureen? Apa lo gak bisa nanyain gue aja? Apa lo gak tau kalau itu rasanya sakit?” Tasia mengangkat wajahnya, menatap Mario yang saat ini bingung karena Tasia yang tiba-tiba menangis.

Karena cinta memang tidak bisa dipaksakan.

Karena Mario benar-benar tidak bisa memaksa hatinya untuk berlabuh pada Tasia.

“Gue cuma mau tau, lo ngapain upload foto begituan? Lo ngapain ngerusak hubungan mereka?” Mario terus bertanya, tidak terlalu mempedulikan Tasia yang saat ini sedang menangis.

Dan hati Tasia kini terasa begitu hancur, rasanya begitu menyakitkan.

“Apa lo gak sadar kalau dengan cara lo yang kayak gitu ngebikin jalan gue untuk ngedeketin Maureen semakin terbuka lebar? Lo gak sadar kan, Tas? Lo gak sadar akan hal itu karena lo telah dibutakan oleh perasaan cinta lo yang semakin kelewatan batas itu. Perasaan cinta lo itu yang ngerusak lo, Tas” Mario terus berkata, tidak mempedulikan air mata Tasia yang saat ini terus mengalir karena ucapan Mario yang terasa begitu menusuk di hati Tasia.

Memang benar. Tasia sama sekali tidak menyadari bahwa dengan rencana ini, Mario bisa mendekati Maureen.

Jujur, Tasia tidak ingin hal itu terjadi.

Tasia tidak mau Mario menyatakan perasaannya pada Maureen.

Namun telat. Pepatah mengatakan nasi sudah menjadi bubur. Tasia tidak bisa mengulang waktu. Tasia tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Saat ini Tasia hanya bisa diam dan terus mendengarkan perkataan Mario yang kini terasa begitu dingin.

“Seharusnya lo gak perlu ngerusak kebahagiaan orang lain demi mencapai kebahagiaan lo, Tas. Itu namanya egois.

“Kebahagiaan gak usah di cari. Kebahagiaan bisa datang dengan sendirinya di saat yang tepat dan dengan cara yang tepat juga. Bukan dengan cara egois kayak gini, menghancurkan kebahagiaan orang lain, dan lo berasumsi bahwa dengan itu pada akhirnya lo bisa bahagia.

Stay [Completed]Where stories live. Discover now