Bab 19. Idiot

146K 16.2K 588
                                    


ADAM menatap layar ponselnya dengan pandangan tidak percaya. Video perkelahian kelas pembuangan dengan sekolah lain sedang viral hari ini di dunia maya. Adam sendiri enggan melihat, hanya saja Juna memaksanya. Juna ingin memastikan sesuatu, apa pemberontak yang membuat masalah dengan kelas yang sama sekali tidak ingin Adam lihat adalah orang yang menghajar Adam tempo hari.

Meski samar-samar, Adam masih sedikit ingat pria yang menyeret paksa keluar dari bar. Seorang cowok yang tengah bertarung dengan cewek idiot yang kini berstatus sebagai kekasihnya karena sebuah paksaan untuk menyelamatkan harga dirinya.

Adam tidak pernah berpikir, menurutnya mereka begitu gila. Lihat saja, beberapa cewek ikut turun bertarung mengalahkan lawan. Detik berikutnya Adam diam, ketika matanya fokus ke arah Amora yang berhasil di hajar cowok yang membuatnya babak belur.

"Dia kuat juga," gumam Adam, memuji Amora yang kembali menghajar lawannya meski sudah terluka.

Tentu saja Adam cukup kagum, biasanya cewek itu lemah. Meskipun mereka ribut, paling saling menjambak rambut. Tapi yang Adam lihat kali ini, beberapa cewek dengan gilanya menghajar beberapa cowok. Bahkan mereka cuek sesekali rok abu-abu yang mereka pakai tersingkap cukup tinggi.

Hingga video berakhir, Adam hanya bisa menggelengkan kepalanya. Sesekali meringis, mengusap wajahnya yang masih terasa nyeri.

"Dasar sinting, mereka mau menjadi pahlawan? Heh," sinis Adam.

Adam merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Bukan Adam keterlaluan, bukankah apa yang mereka buat akan dampak kepada mereka sendiri? Apalagi mereka adalah kelas pembuangan. Sering masuk ruang BK, juga memiliki banyak catatan merah di sana. Bukankah dengan kejadian ini image mereka akan semakin buruk.

Tapi, itu terdengar baik untuk Adam. Bukankah dengan ini mereka akan lebih mudah enyah dari sekolahan. Adam tidak peduli, meski masalah yang datang kepada mereka berasal dari dirinya. Why? Mereka yang mencari masalah, jadi jangan pernah salahkan dirinya.

"Adam,"

Mamah mengetuk pintu dari luar kamar, Adam yang baru saja memejamkan mata mendesah. Jujur, Adam sudah lelah jika wanita paruh baya yang juga adalah bidadari hidupnya menyuruh Adam untuk bersikap baik kepada pria sialan itu.

Dengan malas Adam mengangkat tubuhnya yang masih terasa sakit. Melangkah gontai ke arah pintu, lalu membukanya.

"Apa?" tanya Adam, malas.

Mamah tersenyum "Kenapa mukanya kesel gitu, Papah kamu sudah pergi."

Adam tersenyum sinis "Pergi lagi? Tengah malam seperti ini? Cih, apa dia mau menemui pelacurnya lagi, Mah?" tanya Adam sarkas.

Mamah Adam masih tersenyum, meski Adam tahu yang ia katakan sudah melukai Mamahnya sendiri.

"Jangan bicara seperti itu, papah kamu kan orang yang sibuk jadi...,"

"Iya, terserah Mamah. Adam capek, sebesar apapun Mamah membela bajingan itu. Adam tetap berdiri pada pendirian Adam, Adam enggak akan ngelupain betapa brengseknya dia..,"

"Adam!"

"Kenapa? Mamah marah? Kenapa Mamah selalu menutup mata dan telinga Mamah? Sudah bertahun-tahun dia sakitin Mamah, apa mamah gak pernah bosan? Kenapa mamah selalu kalah dan terus membela dia?" bentak Adam, napasnya naik turun karena marah.

Mamah Adam diam, wanita itu menunduk mendengar bentakan dari putranya. Putranya tidak salah, dirinyalah yang salah. Tidak bisa melawan dan terus diam dengan apa yang ia rasakan.

"Ck,"

Adam menggeram, ia masuk ke dalam kamar. Mengambil barang-barangnya, memasukannya ke dalam tas lalu beranjak pergi. Melewati Mamahnya yang masih berdiri di ambang pintu.

Bukan Cinderella (Sudah Ada Di Toko Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang