Bab 18. Mana Yang Tulus Dan Yang Bertopeng

147K 22.1K 971
                                    


PARA murid yang terlibat perkelahian di lingkungan sekolah kini mendekam di ruang BK. Sementara murid pemberontak dari sekolah lain sudah di seret oleh beberapa oknum guru yang mengajar di sekolah mereka.

Yang membuat mereka tidak percaya, ternyata murid yang berkelahi dengan mereka bersekolah di sebuah STM yang cukup terkenal, sekolah yang di isi oleh kebanyakan murid lelaki. Tapi tidak jarang juga perempuan masuk ke sekolah khusus teknik dan otomotif itu.

Tidak ada yang berani berbicara, mereka hanya bisa meringis dengan luka lebam di sekitar wajah mereka. Semua mendapatkan luka, termasuk si bongsor Eka yang juga mendapatkan luka lebam di bagian pipinya. Kecuali Budi, cowok kemayu itu berhasil menaklukan lawannya dengan sekali tendangan.

Semua terlihat khawatir, tidak. Hanya Amora yang terlihat begitu cemas. Pasalnya mereka semua akan mendapatkan sebuah surat peringatan dari sekolah dengan apa yang sudah mereka lakukan. Amora takut jika Bunda akan semakin marah, melihat wajah babak belurnya saja Bunda sudah murka.

"Aduh! Gimana ini, aku ada janji sama temen ke salon." lirih Budi yang tidak henti-hentinya melirik jam tangan.

Semua menoleh ke arah Budi, sedetik kemudian mereka mendesah kesal. Bagaimana mungkin cowok kemayu itu memikirkan janji di saat genting seperti ini. Apa tadi? Salon? Gila.

"Salon? Mau ngapain?" tanya Caca antusiasi. Dan lagi semua yang berada di sana hanya bisa memutarkan kedua bola matanya malas. Caca si penggila kecantikan dan fashion.

"Berisik! Bisa gak jangan ngomongin yang begituan. Bikin muka gue nyut-nyutan tahu gak," kesal Eka, menekan luka lebam di pipinya.

Caca mencebik, sementara Budi meringis takut.

"Ngomong aja lo gak bisa dan-dan." sindir Caca.

Eka diam, cewek itu mendelik tajam ke arah Caca. Sementara yang lain lagi-lagi mendesah lelah.

Klek!

Pintu terbuka, menampilkan Bu Dian dan dua guru lain yang mereka tahu pengurus BK. Hening, mereka fokus melihat gerakan Bu Dian. Bahkan sampai Bu Dian duduk di kursi mereka hanya bisa meneguk ludah, mereka tidak bodoh jika Bu Dian sedang marah.

Bu Dian memandang semua wajah muridnya bergantian. Ada yang lebam di pipi, hidung, mata dan pelipis. Tidak jarang sudut bibir mereka masih sedikit mengeluarkan darah. Mereka yang di tatap seperti itu hanya bisa menundukan kepala, nyali kelas pembuangan ciut jika sudah berhadapan dengan Bu Dian.

"Kalian sadar dengan apa yang sudah kalian lakukan, bukannya kalian udah janji sama Ibu buat tidak berkelahi lagi?" tanya Bu Dian, mulai bermonolog.

Semua menunduk, tidak ada yang berani menjawab. Takut, jika apa yang mereka katakan akan membuat semuanya semakin sulit.

"Ibu gak ngerti sama kalian, kalian sadar gak sih. Yang kalian lakuin ini bisa aja bikin kalian diskors bahkan di DO dari sekolah?"

Mereka masih diam, mereka bisa mendengar nada Bu Dian terlihat sangat marah.

"Kalian sudah banyak berbuat ulah, bahkan catatan merah di BK sudah tertulis dengan jelas. Dan kamu Diki, Ibu berharap kamu yang gak pernah buat ulah untuk bertahan tanpa catatan merah. Tapi apa sekarang, kamu malah ikut-ikutan," kesalnya.

"Wah, berarti kelas kami dapet Rekor Muri dong Bu?" celetuk Kenan.

Semua mendelik, menatap Kenan seakan ingin menerkam. Begitu juga dengan Bu Dian, Kenan yang lagi-lagi merasa bersalah hanya bisa merutuki mulut embernya.

"Ibu bukan jahat, tapi apapun yang terjadi kalian jangan terpancing emosi. Apalagi sampai terlibat perkelahian, dan masih di lingkukan sekolah. Ibu takut image buruk kalian di mata orang lain akan semakin buruk. Ibu tahu, jika kalian tidak seburuk apa yang orang-orang katakan. Bagi Ibu, kalian tetap murid Ibu di manapun kalian berdiri. Maka dari itu, Ibu ingin kalian mengerti. Bahwa yang Ibu lalukan demi kalian, Ibu di sini akan terus berdiri untuk membela kalian. Berubah, tahan emosi dan tunjukin kalo kalian tidak seburuk itu." ucap Bu Dian, pandangan wanita itu menyendu.

Bukan Cinderella (Sudah Ada Di Toko Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang