Bab 9. Kita, Berbeda Kelas

159K 16.9K 690
                                    

AMORA mulai kepanasan, berada di dalam ruang osis sendiri tidak masalah untuknya. Masalahnya, para antek osis ikut berkumpul di sana. Satu per satu dari mereka masuk. Dan seperti biasa, mereka memberikan Amora tatapan sinis seperti biasanya.

Tugas yang di berikan Adam Wijaya itu bahkan belum selesai. Semakin lama terlihat semakin menumpuk, sialan! Amora lelah, sangat lelah. Amora rindu hidup bebasnya. Tiduran di kelas, membaca buku novel dan lain-lain. Sekarang, hidupnya terasa seperti di awasi oleh malaikat maut.

"Masih belum selesai?" tanya Adam sarkas.

Amora mendesah, mencoba mengontrol emosinya yang kapan saja bisa meledak.

"Ngerjain itu aja sampe 10 menit belum selesai, lo ini bener-bener idiot ya."

Amora membuang napasnya perlahan, pulpen yang sedari tadi berada di genggamannya menjadi pelampiasan emosinya. Semakin lama Amora menggenggamnya, mungkin sebentar lagi pulpen itu akan terbelah menjadi dua.

"Sebentar lagi bel istirahat bunyi, gue gak mau kalo pekerjaan lo itu belum beres."

Semua yang di ruangan itu memandang Amora dengan sinis, kecuali Juna yang sama sekali tidak tertarik melihatnya, seperti biasa, cowok itu lebih asik mendengarkan musik.

"Lelet banget lo kayak siput."

Lagi, Adam mencoba bermain dengan emosinya. Amora benar-benar kesal, ingin sekali ia melawan dan menghajar ketos ini. Tapi nasib semua temannya ada di sini. Amora tidak ingin semua temannya harus menderita karena seorang Adam Wijaya, iblis sialan!

Amora mencoba kembali fokus, tangannya kembali sibuk dengan kertas-kertas yang mulai menipis. Mengontrol emosinya berkali-kali ketika Adam dengan sengaja menyindir dan menghinanya.

Kenapa gak dia aja yang ngerjain? Kertas segunung gini minta di beresin dalam waktu lima belas menit? Dia sinting apa gila? Brengsek!

Amora terus saja mengumpat di dalam hati, dengan itu ia bisa menghilankan sedikit rasa kesalnya. Jika pekerjaannya sudah selesai, Amora akan melampiaskan emosinya kepada siapapun yang berani mengusiknya. Senggol, Bacok!

Brak !

Amora menggebrak meja cukup keras, bersamaan dengan itu bel masuk berbunyi. Amora baru saja menyelesaikan tugasnya, dan lihat? Ia belum sempat mengisi perutnya yang sedari tadi keroncongan.

"Tugas gue udah beres!"

Adam memandang Amora sekilas, pandangannya masih datar seperti biasanya.

"Hm."

Setelah mendengar persetujuan dari Adam, Amora bergegas keluar dari ruangan yang ia anggap sebagai neraka. Sial, Amora kesal, sangat kesal! Ayolah, siapapun silahkan mencari masalah dengan Amora. Amora ingin melampiaskan emosinya, Amora tidak perduli meski yang mengusiknya seorang preman bertato anaconda.

Dengan kesal, Amora menghentak-hentakan kakinya di atas lantai. Berjalan menuju kelasnya dengan perasaan kesal setengah mati. Adam Wijaya, cowok itu sudah membuat hidup indahnya jadi sebuah mimpi buruk yang nyata.

"Laper?"

Langkah Amora terhenti, ia mendongkak mendapati seorang cowok yang tengah menyender di tembok. Cowok ini, apa-apaan jam masuk kelas masih santai berdiri di luar? Apa dia tidak takut jika guru BK memergokinya.

"Ngapain lo di sini, Juna?" ketus Amora.

Juna tersenyum, melangkah mendekati Amora yang masih memasang wajah kesal.

"Laper gak?" tanya Juna lagi.

Dahi Amora berkerut "Ngapain nanyain gue laper? Mau ngasih gue makan, heh?"

Bukan Cinderella (Sudah Ada Di Toko Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang