Bab 8. Ancaman

168K 17K 835
                                    

KENAN meringis, dengan kerasnya Amora menyentil kening cowok absrud itu. Mereka sedang bermain batu kertas gunting, kecuali Diki yang sama sekali tidak tertarik dengan permainan anak kecil seperti itu. Bukan Diki malu, tapi Diki tidak ingin nasib keningnya membiru seperti Kenan.

Lihatlah tenaga Eka si bongsor, cewek itu tidak segan-segan menyentil kening Kenan hingga cowok itu terjungkal dari kursinya. Amora? Meskipun pendek, tenaga Amora itu tenaga preman pasar. Dinda? Meskipun hobinya ng-stalk k-pop, jika di ajak tauran, Dinda akan berdiri paling depan. Caca, Jangan lihat covernya meskipun cewek itu centil, sentilannya bisa membuat kening korbannya berdenyut.

"Dik, sini main! Tolongi gue, kasihan kening berharga gue jadi korban cewek preman nih," rengek Kenaan.

Diki meringis melihanya "Enggak, makasih!"

"Alah, si Diki mah mainnya sama buku terus, kutuan tau rasa lo." cibir Eka.

Diki tersenyum miring "Bodo amat, yang penting kening gue selamat dari tangan raksasa."

Eke melotot "Lo ngatain gue raksasa?"

"Udah Ka, kayak gak tau Diki aja. Kalo ikut main juga dia langsung nyerah." sindir Dinda.

"Wah, perlu di pertanyakan nih kelamin lo Dik." sambung Amora sarkas.

"Dafuk, maksud lo? Si Diki ini cowok jadi-jadian!" teriak Caca tidak percaya.

Diki melotot tidak terima, ia melemparkan buku yang sedang ia baca ke atas meja dengan kasar.

"Gue ikutan, bakal gue buktiin kalo gue cowok sejati." jawab Diki mengebu.

Diki memang kutu buku, tapi jika harga dirinya sebagai lelaki di injak, Diki tidak akan pernah terima meski yang menghinanya seekor bebek. Mereka semua tersenyum miring, kecuali Caca yang gagal paham akan maksud dari senyuman itu. Caca tidak mengerti jika mereka sengaja memancing amarah Diki.

"Yuk di mulai, batu kertas gunting!" teriak mereka.

Tidak ada yang kalah, mereka terus meneriaki kalimat itu berkali-kali. Sampai ada satu tangan yang berbeda dari yang lain keluar di antara mereka.

"No!!" teriak Caca histeris.

"Mau kemana lo cabe?" Kenan menarik lengan Caca yang hendak kabur.

"Duh, jangan dong! Gue gak mau, gue nyerah." rengek Caca.

"Enak aja lo nyerah, bagian nyentil gue aja lo semangatnya kayak cacing kepanasan." seru Kenan tidak terima.

"Tau lo Ca, jangan gitu dong. Harga diri lo sebagai cewek di pertaruhkan di sini." Eka ikut memanasi.

"Kalo lo kabur, jangan main sama kita lagi. Noh main sama si Budi." Amora menunjuk sekumpulan murid yang tengah duduk di pojok lantai, mereka sedang bermain bola bekel.

Caca mengernyit "Ogah!"

"Yaudah, jangan kabur." Dinda kembali menarik Caca agar duduk di tempatnya.

Caca meringis "Duh, maafin aku ya kening jenongku sayang. Pulang sekolah kita langsung maskeran deh ya." lirih Caca mengusap-usap kening lebarnya.

Mereka memutar kedua bola matanya malas melihat tingkah Caca, lalu pandangan mereka beralih memandangi kening Caca seperti sepotong ayam goreng. Caca bergidik melihatnya, Caca tidak sanggup mendapatkan sentilan dari si bongsor Eka, si preman Amora, atau Kenan yang sepertinya ingin balas dendam.

"Pelan-pelan," pekik Caca ketika Kenan akan mendaratkan sentilannya di sana.

"Amora."

Suara dingin itu menghentikan gerakan tangan Kenan, semua mata menoleh ke arah pintu. Seperti biasa, Adam dan antek-anteknya berdiri di sana.

Bukan Cinderella (Sudah Ada Di Toko Buku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang