Chapter 9

9.8K 581 26
                                    

Entah aku berada di mana saat ini. Semua terlihat gelap. Tak ada cahaya sedikit pun. Bahkan, untuk melihat tanganku sendiri aku tak mampu. Tubuhku masih terasa nyeri dan ngilu. Tapi, aku harus segera keluar dari tempat ini.

"Apakah aku sudah mati?" bisikku lirih sambil terus menyeret kaki mencari jawaban.

Perlahan, di antara kegelapan yang mengekang, aku berjalan. Tak ada suara di sana. Aku pun tak berani untuk berteriak. Tenggorokanku tercekat. Kakiku yang terasa lemas, kupaksa terus bergerak mencari jalan keluar yang bisa membebaskanku dari tempat ini. Namun, beberapa saat kemudian aku merasa seseorang memegang bahuku. Tangannya sedingin es, padahal tak menyentuh kulitku secara langsung.

"Aku rindu padamu, Reinayya," suara yang kukenal benar milik siapa.

Seluruh tubuhku gemetar hebat, tapi aku tetap tak bisa berteriak karena sesuatu yang dingin dan terasa tajam perlahan menekan kulit leherku meninggalkan perih tak tertahan.

"Reinayya!"

Panggilan itu yang mendesakku untuk membuka mata. Aku rindu suara itu. Aku rindu cara dia memanggil namaku. Aku rindu. Hanya wajah samar yang bisa kulihat. Dia berada di dekatku. Aku tahu dia tersenyum, tapi pandanganku begitu buruk.

"Kamu sudah sadar," katanya lagi dan kali ini menggenggam tanganku kuat.

"Kak Jordy," ucapku lemah, selemah pakaian yang sengaja tak digantung. Teronggok begitu saja di lantai.

Laki-laki kesayanganku itu mengusap kepalaku dengan hati-hati. Manik matanya yang kebiruan berkaca-kaca. Kali ini pandanganku sudah terlihat jelas. Dia tersenyum. Kakak kandungku itu masih terlihat gagah seperti yang terakhir kali kulihat. Ia masih mengenakan pakaian dinasnya sebagai seorang anggota militer Angkatan Udara. Kak Jordy adalah seorang pilot pesawat tempur. Entah bagaimana ceritanya dia yang bisa menjadi seorang pilot pesawat tempur, padahal sejak dulu akulah yang tergila-gila dengan pesawat tempur.

"Kenapa kamu masih punya hobi membuatku khawatir, hm?" tanyanya.

"Aku bukan Gal Gadot di film Wonder Woman, Kak," jawabku seadanya.

Kak Jordy tertawa dengan setetes air mata mengalir dari sudut matanya, tapi cepat-cepat ia seka. Aku tahu, sesedih apa dia saat ini. Mungkin, trauma itu kembali terlintas di benaknya.

"Maaf karena membuatmu khawatir, Kak." Tanganku yang bebas dari jarum infus terulur mengusap lembut pipinya.

"Lain kali kamu harus lebih hati-hati ya!" kali ini nada tegas keluar dari bibirnya.

"Siap, Komandan!" kataku sambil berusaha memberi hormat, tapi malah nyengir kesakitan karena ternyata, lenganku sobek dan harus dijahit.

"Hati-hati!" pekik Kak Jordy.

Aku meringis.

"Hai, kamu!" pintu terbuka, kepala Amanda menyembul dan ia masuk ke dalam ruangan perawatanku itu.

"Hai, calon kakak ipar!" godaku dengan sengaja. Kak Jordy dan Amanda memang sedang berusaha menjalin hubungan dan itu semua aku lakukan, karena mereka memang kurang berani untuk saling mengakui. Sejak mamaku meninggal dua tahun lalu, hanya ada aku dan Kak Jordy. Tak ada satu pun keluarga yang peduli dengan kami. Itu yang membuat hubungan kami sebagai saudara menjadi kian hebat. Hal-hal pribadi pun tak ayal sering kami ceritakan satu sama lain termasuk soal hati. Diam-diam Kak Jordy suka dengan Amanda, tapi terlalu takut mengungkapnya, karena memang kakakku itu tidak pernah berhubungan dengan siapapun. Hidupnya hanya fokus untuk belajar, dan menjagaku. Hingga akhirnya ia diterima sebagai anggota militer. Begitu juga dengan Amanda yang mungkin terlalu pemalu atau memang malu untuk mengakuiku sebagai adik iparnya. Entahlah.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Amanda sembari memeriksa selang infusku setelah terlebih dulu tersenyum singkat pada Kak Jordy.

"Better, Dok!" jawabku. "Ternyata seperti ini rasanya menjadi pasien."

"Hmmm, iya tapi jangan lama-lama jadi pasiennya. Kamu benar-benar merepotkan!" Amanda duduk di sebelah kiriku, karena Kak Jordy masih duduk terdiam dengan sesekali tersenyum menyaksikan aku dan sahabatku itu saling menimpali.

"Jadi kapan aku boleh pulang?"

"Kamu kan baru sadar, Rei, kok sudah bertanya soal pulang sih?!" gerutu Amanda gemas.

Aku hanya menjulurkan lidahku ke arah Amanda, agar omelannya tidak bertambah panjang.

"Oh iya, Rei, ada yang mau Kakak tanyakan padamu." Kak Jordy beranjak dari duduknya dan mengambil sesuatu di atas nakas, tepat di dekat kepalaku. "Ini punya siapa?" tanyanya sambil memperlihatkan sebuah ponsel hitam.

"Astaga, Kak!" tanganku membekap mulut.

"Kenapa, Rei?" Kak Jordy seketika itu juga panik melihat ekspresiku.

"Amanda, korban kecelakaan itu di mana? Dia di bawa ke rumah sakit ini juga kan?" aku menarik tangan Amanda gusar.

"Iya, tapi—" Amanda kebingungan.

"Bagaimana kondisinya? Dia baik-baik saja kan?" cecarku. "Lalu, Aldo? Apa dia sudah kemari untuk menjengukku? Mana ponselku?" aku panik.

Amanda saling tatap dengan Kak Jordy. Sepertinya ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan dariku.

"Amanda, jawab aku!" teriakku.

"Dia ...." Amanda terlihat ragu sambil menatap Kak Jordy seperti mengharap bantuan.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now