Chapter 80

3.2K 147 1
                                    

Bagas terperangah sekaligus terbersit ekspresi kesedihan di wajahnya mendengar pertanyaanku itu. Setelah semua yang terjadi di antara kami belakangan ini, bisa-bisanya aku mengira Bagas adalah teman curhat yang tepat untuk segala persoalan pelik ini.

Tangan Bagas terkepal di kedua sisi tubuhnya. "Kamu berharap aku bakal bilang apa?"

Kepalaku tertunduk lagi, seperti orang kalah dengan satu tetes air mata jatuh dan hilang menembus celana piyama yang kukenakan.

Bagas menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Sekali terlibat di cinta segitiga adalah nasib sial. Terlibat cinta segitiga untuk kedua kalinya adalah pilihan. Terlibat cinta segitiga untuk ketiga kalinya adalah takdir.

"Aku bakal mempermudah ini untuk kamu." Bagas terlihat seolah sedang menahan diri untuk tak menuruti keinginannya menyakitiku. "Kamu masih mencintainya atau nggak?"

"Gas ...."

"Jawab Rei. Karena apapun jawabanmu, itu akan menentukan jawabanku juga."

Aku menggeleng pelan. "Kamu pasti lelah. Kita tunda saja pembicaraan ini sampai kondisi kita benar-benar memungkinkan."

"Nggak, Rei," geram Bagas dengan nada tajam, "Ini justru harus diomongin sekarang, sebelum perasaan ini tumbuh semakin kuat. Dan aku juga nggak mau perasaanku memengaruhi keputusanmu ... meskipun ... meskipun ..., artinya kamu mungkin akan kehilangan diriku."

"..."

"Kamu cukup melakukannya dengan mudah, siapa yang kamu pilih untuk menjadi pendamping hidupmu, aku atau ... dia?"

"Aku nggak suka dengan keadaan rumit seperti ini."

Bagas menatapku yang membisu, semakin merasa bersalah sekaligus bingung, dan semua itu tentu saja membuat emosinya menggelegak. "Ayo, pilih, Rei! Karena untuk urusan cinta, aku ini egois, Rei. Saat mencintai seseorang, aku memastikan hanya dia saja yang tinggal di dalam hatiku ... begitu juga sebaliknya."

"Aku nggak bisa, Gas untuk lepas begitu saja dari Aldo setelah apa yang ia korbankan untuk kita di sini. Tapi, aku juga tentu saja nggak bisa mengakhiri ini ... yang kita punya selama ini ... terlalu indah untuk dilepas begitu aja."

"Jangan serakah, Reinayya! Kita ini sudah menikah dan kamu sendiri yang mengatakan kalau janji kita dibuat di hadapan Tuhan! Gimana bisa kamu bilang hal-hal konyol seperti itu? Kamu nggak selalu bisa memiliki segalanya!"

"..."

"Biar aku yang mempermudah situasinya untukmu." Sungguh di luar dugaan, Bagas masih bisa membuat suaranya terdengar tenang mengingat emosi meluap-luap dalam dirinya seperti ini. Mungkin, kemarahan sudah membuatnya mati rasa. Dan lelaki yang mati rasa bisa mengatakan ini dengan penuh keyakinan, "Kalau kamu nggak bisa melakukannya, biar aku yang mengucapkannya untukmu: Selamat tinggal, Reinayya. Aku nggak mau tahu lagi segala hal tentang kamu."

Aku terkejut, tapi aku tak melakukan apapun. Bahkan, tidak memohon supaya Bagas memikirkan kembali keputusannya itu. Dia juga nggak mengatakan apa-apa.

Bagas berjalan ke arahku dan berjongkok di hadapanku. "Bener-bener ironis ya," katanya sambil melepaskan cincin pernikahan dari jarinya dengan mudah, "wanita yang selama ini berjuang mati-matian demi hidupku dan belakangan ini membuatku bahagia adalah orang serupa yang membuatku sepatah hati ini."

Aku sangat ingin bicara, tapi Bagas buru-buru mencuri kesempatan ini.

"Jangan mengatakan apapun demi membuat perasaanku baikan. Nggak ada gunanya."

Bagas bangkit dan berjalan keluar melewati pintu depan. Setelah merasa yakin, Bagas benar-benar menghilang di sana, satu persatu air mata bergerak melewati pipiku.

"It's over," ucapku dalam hati.

***

[TAMAT] Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang