Chapter 25

7.7K 520 52
                                    

Senyumku merekah kala menerima hasil tes Bagas dari bagian patologi. Cocok. Itu artinya aku bisa melakukan transplantasi. Meskipun aku tahu prosedurnya tidaklah mudah, tapi aku akan berjuang agar Bagas bisa melalui ini semua dan mendapatkan jantung baru.
"Bagas di ICU kan?" tanyaku pada Resti sambil menenteng selembar map berisi berkas-berkas yang aku perlukan untuk memulai prosedur Bagas.

"Iya. Ada apa? Kan Amanda yang incharge," jawab Resti.

"Iya aku tahu. Aku hanya ingin memberi kabar gembira untuk ibunya. Thanks, Res!" Aku pun bergegas menuju kamar perawatan Bagas.

Wanita setengah baya itu sedang duduk di ruang tunggu bersama Medina. Perlahan aku mendekat. "Assalamualaikum, Bu."

"Waalaikumsalam, Dokter Rei." Ia tersenyum. Wajahnya terlihat lelah, tetapi ketulusannya masih bisa kurasakan saat itu.

Aku duduk di sampingnya. "Ada kabar baik, Bu. Hasil tes Bagas cocok dengan organ yang tadi saya ceritakan pada Ibu."

"Alhamdulillah." Setitik air mata meluncur membasahi pipinya. Lagi-lagi ia bersyukur sembari memeluk Medina. Gadis kecil itu hanya bisa pasrah di pelukan ibunya.

"Operasinya akan segera saya siapkan ya, Bu tapi akan ada beberapa urusan administrasi yang harus Ibu selesaikan terlebih dahulu," kataku.

Seketika itu juga raut wajah ibu Bagas berubah. "Be ... berapa saya harus bayar?" tanyanya tanpa basa basi.

Bagai disambar petir aku mendengarnya. Operasi transplantasi bisa menelan biaya puluhan, bahkan ratusan juta. Mereka tak akan sanggup dan aku tahu itu. Semua ini sudah benar-benar kupikirkan sebelumnya. Tapi, mengapa aku seolah tak sanggup mengatakannya pada wanita di hadapanku ini?

"Uhm ..." jantungku berdentam. Untuk sesaat, aku ragu. "Bu, sebenarnya saya punya rencana dan saya yakin ini akan berhasil, tetapi saya butuh persetujuan Ibu dan Bagas," lanjutku.

"Apa itu, Dok?"

"Ijinkan saya menikah dengan Bagas karena dengan menjadi suami saya, Bagas berhak mendapatkan fasilitas tunjangan kesehatan yang layak. Untuk sementara, operasi ini akan menggunakan biaya dari saya pribadi. Saya tulus kok, Bu. Saya benar-benar ingin membantu dan bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada Bagas," kataku dengan mata berbinar, sementara ibu Bagas tercekat, menatapku dalam diam.

Aku yang terlalu bersemangat kembali tersadar. Kedua tanganku tengah mencengkeram tangan ibu Bagas dan mengguncangnya, seolah aku sedang melakukan pemaksaan untuk menikah dengan anak lelakinya. Cih, aku sungguh memalukan!

"Dok, maaf, bukannya saya menolak atau apapun itu namanya, tetapi apakah ini jalan satu-satunya?" ia bertanya dengan bibir gemetar melihatku yang tiba-tiba kaku seperti arca.

"Maaf Bu jika saya lancang. Saya kalut dan tidak bisa berpikir jernih. Saya hanya ingin membantu, itu saja." Kulepaskan tangan wanita itu dengan perlahan.

"Dokter, pikirkan sekali lagi. Saya tahu, Dokter adalah orang baik dan berniat baik juga untuk Bagas, tetapi jangan sampai Dokter menyesal. Menikah bukan untuk dipermainkan. Menikah adalah janji sepasang laki-laki dan perempuan di hadapan Allah." Kali ini, wanita itu yang meraih tanganku dan menggenggamnya kuat.

"Saya tahu, Bu. Maaf." Kepalaku tertunduk lesu. Aku memang gegabah. Tapi, aku benar-benar tidak memiliki cara lain saat ini.

"Tanyakan lagi pada hatimu, apakah kamu benar-benar rela mempertaruhkan hidupmu untuk lelaki seperti Bagas. Untuk lelaki yang bahkan tak pernah kamu kenal sebelumnya. Lelaki yang akan menjadi lelaki cacat seumur hidupnya," ibu Bagas terisak.

"Bu, saya niat membantu tanpa ada unsur apapun. Saya yang menyebabkan Bagas seperti ini dan saya harus bertanggungjawab. Saya tidak punya apapun, selain diri saya sendiri. Jadi, saya rela menukar hidup saya untuk menebus semua yang telah terjadi pada Bagas," kataku penuh keyakinan.

"Reinayya, kamu sudah gila!" teriak Amanda yang entah sejak kapan sudah berdiri tak jauh dari tempatku.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now