Chapter 17

9K 601 72
                                    

Kebetulan sekali Medina sangat suka dengan ayam goreng McDonalds hingga akhirnya kami pun memutuskan untuk makan siang di tempat itu. Sementara, aku hanya memesan segelas Milo tanpa es, seperti biasa bila aku ke sana dengan Amanda ataupun dengan Aldo.

"Sebenarnya ada hal apa sampai Dokter menyisihkan waktu seperti ini untuk mengajak kami makan siang?" tanya ibu Bagas sesekali menatap putri kecilnya yang sedang asyik bermain bersama Amanda di playground.

"Uhm, saya hanya ingin tahu sedikit tentang Bagas," ucapku setelah menyesap minumanku.

"Apa yang Dokter ingin ketahui?"

"Mohon maaf sebelumnya, Bu, tapi kenapa Bagas tidak dirawat dengan lebih baik? Padahal Ibu sadar kan kalau Bagas butuh itu?"

Ekspresi wajah wanita di hadapanku itu pun sontak berubah, setelah mendengar apa yang kuutarakan. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya bersuara. "Sebagai seorang Ibu, tentunya saya ingin Bagas mendapatkan perawatan terbaik hingga ia sembuh, tapi keadaan yang membuat saya tidak mempunyai pilihan lain." Bibirnya gemetar.

"Sejak kecil, Bagas mengidap penyakit kelainan jantung. Beruntung dia mempunyai seorang ayah yang begitu sayang dan mampu menyediakan pengobatan terbaik saat itu hingga ia bisa bertahan, tapi semuanya berakhir ketika ayahnya meninggal karena penyakit hepatitis yang di deritanya. Saat itu, Bagas baru kuliah semester dua. Dia pun akhirnya mengambil alih usaha ayahnya sembari kuliah. Dari sisa usaha itulah, ia tetap bisa membayar biaya pengobatan dan membiayai kebutuhan keluarga kami. Saat itu Medina belum lahir. Medina lahir empat tahun kemudian, setelah saya menikah lagi dengan seorang laki-laki yang juga begitu baik terhadap Bagas. Ia membantu Bagas memperbesar usahanya." Wanita itu tersenyum simpul sambil menyesap minumannya.

"Tapi, suami kedua saya itu pun akhirnya meninggalkan kami karena kecelakaan dua tahun lalu. Hati saya hancur kala itu, tetapi Bagas dan Medina yang menguatkan saya. Akhirnya saya bangkit dan kembali beraktivitas seperti biasa, pasca meninggalnya ayah Medina. Hingga kemudian kecelakaan menimpa Bagas tepat di hari ia kehilangan segalanya." Kepalanya tertunduk lesu.

"Kehilangan segalanya?" kataku mengulang kalimatnya.

"Iya. Hari itu, Bagas kehilangan usaha yang telah dirintis ayahnya karena ditipu oleh klien dan dia harus mengganti sejumlah uang yang nominalnya tidak sedikit." Bibirnya kembali gemetar. "Bagas cerita pada saya, bahwa dia memang tidak fokus saat mengemudikan mobilnya, tapi dia bersumpah ribuan kali pada saya bahwa dia tidak mabuk. Saya pun tahu siapa anak saya, tetapi mungkin memang ini semua sudah jalannya. Saya hanya bisa pasrah bila nanti akhirnya Bagas harus dihukum karena perbuatannya yang merugikan orang lain. Sementara saya dan Medina akan tetap hidup sebagaimana mestinya, setelah kami menjual rumah dan melunasi semua biaya perawatan Bagas, meskipun saya sadar bahwa itu semua tak akan cukup." Ia menyeka air matanya, lalu mengangkat kepala dan menatapku dengan senyumannya.

Rasanya seperti ada belati yang menghujam jantungku. Sungguh aku tak pernah membayangkan bila semuanya akan menjadi serumit ini.

"Ibu," Medina tiba-tiba menghampiri kami.

"Ya, Nak?" Cepat-cepat ia menghapus air mata yang tersisa di wajahnya.

"Kata Tante Dokter, ini sudah lewat jam satu siang. Kak Bagas kan harus minum obat kalau jamnya sudah jam satu, Bu. Jadi, kita harus cepet kembali ke rumah sakit," celotehnya polos tapi dengan nada yang begitu cerdas.

"Ah, iya. Coba kamu ajak Tante Dokter, kira-kira Tante Dokter mau pulang atau masih mau main?" canda ibu Medina.

"Ya sudah yuk kita balik ke rumah sakit, kasihan Kakak Bagas nungguin Medina!" ajak Amanda sambil menggandeng gadis cilik itu, sementara ibunya membawa beberapa makanan yang sudah kami pesankan untuk makan malam mereka nanti. Dan aku memilih untuk tetap duduk terdiam, menata hati, memikirkan solusi terbaik yang bisa kutawarkan untuk mereka setelah ini.

"Bagas?" Ibunya heran dengan beberapa petugas di kamar perawatan putranya itu.

Laki-laki yang terakhir kali kutemui dalam kondisi tergolek lemah tak sadarkan diri itu, sudah tampak sedikit jauh lebih baik sekarang. Dia setengah duduk di tempat tidurnya dengan senyum mengembang menatap ibu dan adiknya yang tangannya mengenggam tanganku, sejak turun dari mobil tadi.

"Bu, Bagas bebas!" ucapnya girang.

"Alhamdulillaah, ya Allah!" Wanita itu segera memeluknya putranya dengan rasa syukur membuncah. Lagi-lagi ia berlinang airmata. Medina pun sama bahagianya. Ia melepaskan tanganku dan berlari ke arah ibu dan kakaknya. Ia seolah mengerti dengan apa yang terjadi. Ia memang secerdas yang terlihat.

"Aldo menepati janjinya," bisik Amanda tepat di sampingku.

"Apakah itu benar, Pak? Apakah anak saya bebas?" wanita itu seolah tak percaya.

"Benar, Bu, karena pelapor sudah mencabut tuntutannya dan menutup kasus ini," jawab salah seorang anggota polisi tersebut.

"Allahu Akbar. Alhamdulillah." Wanita itu kembali memeluk dan mencium anak-anaknya.

Tanpa sepatah kata, aku melangkah pergi meninggalkan Amanda dan keluarga Bagas di sana. Aku tak sanggup menahan air mataku.

[TAMAT] Married by AccidentOnde histórias criam vida. Descubra agora