Chapter 41

4.8K 270 0
                                    

Ibu melepaskan pelukannya, masih mencengkeram lenganku kuat tetapi penuh kasih sayang. Ia menatapku lekat seraya mengusap air mataku. "Ibu percaya kamu akan melakukan segala yang terbaik untuk Bagas. Ibu pun percaya Allah SWT akan memberikan mukjizat untuk Bagas melalui tanganmu. Jadi, Ibu mohon jangan bersedih. Kuatkan hatimu, Nak. Segalanya akan baik-baik saja. Ibu percaya itu."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"Sekarang lebih baik kamu pulang dan beristirahat di rumah ya. Kamu pasti capek kan setelah bekerja di rumah sakit ini sehari penuh dan sekarang malah harus ikut menjaga Bagas. Biar Ibu dan Medina di sini. Kamu pulanglah," pinta Ibu yang tangannya mengusap punggungku.

"Tapi, Bu ..."

"Tak ada tapi. Pulanglah, Nak," katanya sekali lagi.

Mau tak mau aku pun menuruti permintaannya. Setelah mencium tangan Ibu, mencium kening Medina, dan hanya melayangkan tatapan tanpa ekspresi ke arah Bagas, aku pun melangkah keluar dari ruangan menuju lift. Pulang.

Aku berjalan menuju subway station. Entah mengapa aku lebih suka memanfaatkan transportasi umum di sini ketimbang menggunakan mobil pemberian Anthony. Bila ada yang mengatakan, mungkin karena aku belum hafal jalanan di sini, ada benarnya juga. Tapi sungguh, transportasi umum di sini benar-benar nyaman dan aman sehingga mengendarai mobil pribadi menjadi pilihan kesekian untuk digunakan.

Kulangkahkan kaki masuk ke dalam subway yang baru saja terhenti di hadapanku. Suasananya tak begitu ramai seperti di pagi hari, tetapi tak banyak juga bangku kosong. Hingga kemudian kulihat ada satu bangku kosong di ujung lorong. Perlahan aku berjalan mendekati bangku itu dengan berpegangan pada besi yang hampir ada di setiap sisi. Bangku itu kosong, tetapi ada sebuah koran tergeletak di atasnya. Penasaran, kuambil koran itu dan iseng membaca headline-nya sejenak sebelum menghempaskan tubuh di atas bangku incaranku itu. Nahas, belum sempat aku duduk manis dan tenang, sebuah hentakan keras mendorongku hingga terjatuh hampir mencium lantai subway. Seluruh lorong berguncang hebat diiringi teriakan para penumpang lain di sekitarku. Guncangan itu cukup lama, hingga membuatku tertahan tak bisa menyeimbangkan diri untuk kembali berdiri. Beberapa detik kemudian, subway itu benar-benar tak bergerak lagi dan aku segera bangkit berusaha menolong beberapa orang yang terluka di dekatku.

"Pak, Anda tidak apa-apa?" tanyaku pada seorang pria yang juga jatuh tak jauh dari tempatku. Ia menggeleng pelan. Aku memutar tubuh dan melihat seorang pria setengah baya sedang berjongkok berpegangan pada besi dengan luka di kepalanya.

"Anda tidak apa-apa? Biar kulihat lukanya," kataku yang segera mengamati luka di kepala pria tua yang sedikit meringis kesakitan itu. "Luka Anda tidak begitu buruk. Anda akan baik-baik saja." Aku bergegas meninggalkannya dan berjalan untuk memeriksa penumpang lain yang mungkin mengalami cedera lebih parah.

Satu persatu aku memeriksa kondisi mereka, tampaknya beberapa di antara mereka hanya mengalami luka ringan. Hingga aku sampai di ujung subway dan melihat keluar jendela. Gerbong subway yang tepat berada di hadapanku sudah keluar dari jalurnya dan tak karuan kondisinya. Banyak orang berteriak minta tolong. Bahkan, aku melihat ada beberapa orang sudah terpental keluar hingga ke pinggir lintasan subway. Kaku tak bergerak.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now