Chapter 37

4.7K 263 0
                                    

"Selamat datang di Spring Hill Hospital!" ucap Jenna ramah.

Aku tersenyum. "Terima kasih, Jenna. Kuharap aku bisa segera adaptasi dengan segala kondisi di sini," kataku sambil menahan kantuk yang teramat sangat karena jetlag.

Jenna sepertinya memergokiku yang diam-diam menguap. Ia memicingkan matanya, kemudian menyeretku masuk ke ruangan khusus para dokter yang dijuluki Winter Blossom. Entah apa maksudnya. Mungkin ruangan ini diharapkan bisa menjadi pendingin suasana di saat para dokter ER sepertiku melewati hari yang buruk.

"Minum ini." Jenna menyodorkan segelas kopi hangat yang baru saja ia tuang dari coffee maker di atas meja. Sepertinya itu adalah salah satu fasilitas gratis di sini.

"Thanks," ucapku yang tanpa pikir panjang segera menyeruputnya. Pahit. Espresso yang sejak jaman dahulu kala sudah kubenci.

"Habiskan, lalu kita kembali berjalan-jalan untuk hari pertamamu di sini," katanya sambil tersenyum ramah.

Aku meringis. Bukan karena tak mau, tapi karena kopi di dalam cangkir ini teramat pahit sehingga aku merasa ingin muntah. "Bisakah sekarang saja kita berkeliling? Aku sudah tak sabar," kataku.

"Kamu yakin tak ingin menghabiskan kopi itu?" tanyanya dengan satu alis terangkat.

"Aku akan menghabiskannya nanti," kataku penuh keyakinan padahal tanganku membentuk finger cross di belakang punggung.

"Baiklah." Jenna menggamit lenganku, membawaku keluar dari ruangan itu dan kembali menyusuri lorong yang tak begitu panjang, namun cukup riuh. "Kali ini kita akan menuju ke sebuah ruangan di mana segalanya akan menjadi suatu pertempuran atas hidup dan mati." Jenna mendorong pintu besar di hadapan kami. Seketika lalu lalang para petugas medis pun membuatku agak sedikit bingung, ditambah dengan pengaruh jetlag dan getirnya espresso di lidahku.

"Blue Memorial adalah nama ruangan ini. Sudut tersibuk di rumah sakit ini. Sudut di mana teriakan dan kekhawatiran mengharu biru. Itulah kenapa kami menyebutnya Blue Memorial," jelas Jenna yang menarikku berjalan dari hadapan para dokter yang sedang menangani seorang pria tua dengan suaranya yang lantang penuh derita kesakitan. "Kamu akan menghabiskan hampir semua waktumu di ruangan ini, hingga bukan tak mungkin bila nanti kamu akan menyebutnya rumah. Gunakan semua ilmu yang kamu miliki dan satu hal yang patut kamu ingat, jangan pernah 'membunuh' siapa pun di rumah ini," bisiknya penuh penekanan.

Tiba-tiba alarm tanda darurat berbunyi begitu nyaring.

"Tugas pertamamu tampaknya sudah tiba. Pergilah, dan nikmati waktumu di rumah ini!" Jenna mendorongku ke arah beberapa dokter dan perawat yang tiba-tiba berhamburan mengambil peralatannya masing-masing.

"Hei anak baru, siapkan semua peralatanmu karena ada korban luka tembak yang baru saja terjadi di taman depan rumah sakit," pekik seorang pria dengan rambut kecokelatan dan jambang ala Gerard Butler padaku.

Aku menarik napas panjang dan setengah berlari ke arahnya. Menyambar segala peralatan yang kuperlukan dari tempat yang tadi telah ditunjukkan Jenna, kemudian ikut berlari bersama dua orang lainnya keluar dari pintu emergency.

[TAMAT] Married by AccidentWhere stories live. Discover now