Chapter 2

15.6K 759 16
                                    

"Rei!" Amanda setengah berteriak tepat di telingaku.

"Eh, iya. Kenapa?" Aku tersadar dan menatap Amanda yang tengah mengerutkan kening ke arahku tajam.

"Kamu ini kok malah melamun sih? Ayo, buruan! Papa Pus sudah menunggu kita di ruang operasi," kata Amanda dengan kedua tangan berada di saku jas putihnya yang kuakui tetap saja anggun meski kelelahan.

Aku mengangguk sebelum akhirnya kami masuk ke dalam ruangan persiapan operasi untuk mengganti pakaian, mencuci tangan, mengenakan sarung tangan, masker, dan juga penutup kepala.

Aroma alkohol bercampur obat-obatan menyeruak ke hidungku saat melangkah memasuki ruang operasi. Suhu udara di ruangan itu juga berbeda. Dinginnya serasa menusuk tulang hingga membuatku bergidik.

"Selamat pagi, anak-anak cantik!" sapa dokter Puspito, laki-laki paruh baya dengan suara parau dan keriput di ujung matanya yang kecokelatan. Aku dan Amanda kerap memanggilnya Papa Pus, karena beliau adalah salah satu dokter senior di rumah sakit ini. "Maafkan aku bila terpaksa membuat kalian harus bekerja sepagi ini dan membantuku, karena, ya, kalian tahu kan, bahwa aku tak bisa memercayai siapapun kecuali kalian." Ia terkekeh.

"Pagi, Pa!" balasku sambil menatap kelu ke arah pasien laki-laki yang berada di atas meja operasi yang tersorot lampu halogen. "Apa sarapan kita pagi ini?" tanyaku yang memang bisa sesantai itu bila berada di dekat Papa Pus. Bagaimana, tidak? Beliau sudah seperti papaku sendiri. Papa yang telah lama pergi dari hidupku.

"Laki-laki berusia tiga puluh tahun, salah satu korban kecelakaan dengan beberapa tulang rusuk patah yang menyebabkan pendarahan mengerikan di dalam sana," jelas Papa Pus sudah menggenggam sebilah scalpel, siap menginsisi kulit pasien.

"Ya, aku bisa melihatnya," jawabku bersiap dengan suction untuk menyedot cairan yang tentu saja sudah pasti akan menyembur ketika Papa Pus membelah dada pasien itu.

"Let's seize the day!" pekik Amanda dari balik masker hijau muda yang ia kenakan ketika darah seketika merembes keluar dari tubuh pasien itu.

Operasi itu memakan waktu hingga tiga jam lamanya. Aku keluar dari ruangan untuk membersihkan tangan dan melepaskan semua atribut yang kukenakan, termasuk penutup kepala lucu bertema doodle yang kubeli ketika seminar di Singapura tiga bulan lalu.

Tiba-tiba rasa sakit itu kembali menyerang. Aku bahkan harus setengah membungkuk untuk mengurangi rasa sakitnya dan bertahan agar tetap berdiri, meski harus berpengangan pada sisi meja.

"Kamu kenapa, Rei?" Amanda bingung melihat gerak-gerikku. "Kamu sakit?" dia menyentuh tanganku yang berusaha meremas perut, mencoba mengalihkan rasa sakitnya.

"Aku nggak apa-apa kok," jawabku lirih sambil perlahan membuka mata yang setengah berkaca-kaca.

"Duduk dulu deh, aku periksa ya!" Amanda menarik lenganku lembut, tapi aku menepisnya.

"Nggak perlu, Man. Aku nggak apa-apa. Aku cuma butuh makan sekarang, laper banget," kataku sambil meringis.

"Kamu yakin?"

Aku mengangguk cepat dan memaksakan senyum agar ia percaya.

Amanda melirik jarum jam di dinding yang berada tepat di atas kepalaku. "Seharusnya nasi uduk di kantin sudah siap dan bisa dipesan," katanya dengan kepala setengah dimiringkan untuk melihat ekspresiku yang masih tertunduk lesu.

Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. "Dokter Rei, dokter Amanda, kalian dibutuhkan di UGD," ujar Prita, salah satu perawat bagian UGD secepat kilat, lalu kembali menghilang di balik pintu tadi.

"What?" aku menatap Amanda dengan tatapan tak percaya. "Apa yang terjadi bila kita diam-diam ke kantin ..." kalimatku terpotong, karena Prita sudah kembali mendorong pintu tadi dengan kasar dan wajah garang yang tak enak dilihat.

"SEKARANG!" katanya dengan mata melotot, alis terpaut, dan bibir tertekuk ke atas.

Tanpa banyak kata lagi, aku segera mengeringkan tangan, lalu keluar melewati Prita yang sengaja berdiri di depan pintu untuk menahannya agar kami bisa segera keluar. Amanda mengikuti di belakangku, bergerak lebih cepat agar menyamai langkahku.

"Dia sengaja menunggu kita, ya?" bisik Amanda.

Aku mengangkat bahu cepat. "Baru kali ini kan, ada perawat lebih kejam daripada direktur rumah sakit," bisikku sambil menahan tawa, sekaligus nyeri di perutku yang nyatanya masih tak mau pergi.

[TAMAT] Married by AccidentKde žijí příběhy. Začni objevovat